Senin, 08 Agustus 2016

HIV/AIDS



HIV (Human Immunodeficiency Virus) 
dan 
AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome)

Pengertian HIV/AIDS
Definisi dan pengertian menurut Depkes RI (2003), adalah sebagai berikut:Virus HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut. Penyakit AIDS AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Sindrom AIDS timbul akibat melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV.
HIV merupakan retrovirus sitopatik nontransforming yang menimbulkan imunodefisiensi lewat destruksi sel - sel T yang menjadi target (Mitchel, Kumar, Abbas & Fausto)
HIV adalah kependekan dari Human Immunodeficiency Virus. Artinya virus yang hanya dapat menginfeksi manusia, memperbanyak diri dalam sel manusia, sehingga menurunkan kekebalan manusia terhadap penyakit infeksi. (Lydia Harlina Martono & Satya Joewaana)
HIV merupakan penyakit yang diibaratkan gunung es, dimana pangkalnya jauh lebih besar dari ujungnya yang tampak pada permukaan. (Ida Bagus Gde Manuaba)
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus ini secara pelan - pelan mengurangi kekebalan tubuh manusia. (Komkat Kwi)
HIV merupakan retrovirus yang menurunkan kemampuan sistem imun. Sekali terjangkit, HIV menghasilkan suatu spektrum penyakit yang akan berkembang dalam kebanyakan kasus, mulai dari laten yang bersifat klinis atau status asimtomatik sampai kondisi AIDS, ditandai dengan hitung sel CD4<200 atau adanya infeksi oportinistik, tanpa memerhatikan hitung sel CD4 (Geri Morgan & Carole Hamilton)

Etiologi HIV/AIDS
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.
 Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan otak.
Gejala dan Stadium Klinis HIV/AIDS
Gejala
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Rasa lelah dan lesu
b.      Berat badan menurun secara drastis
c.       Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
d.      Mencret dan kurang nafsu makan
e.        Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f.       Pembengkakan leher dan lipatan paha
g.      Radang paru
h.      Kanker kulit
Gejala Mayor dan Gejala Minor Infeksi HIV/AIDS
Gejala Mayor
Gejala Minor
·         Berat badan menurun >10% dalam 1 bulan
·         Diare kronik berlangsung >1 bulan
·         Demam berkepanjangan >1 bulan
·         Penurunan kesadaran
·         Demensia/HIV ensefalopati
·         Batuk menetap >1 bulan
·         Derrmatitis generalisata
·         Herpes Zooster multi-segmental dan berulang
·         Kandidiasis orofaringeal
·         Herpes Simpleks kronis progresif
·         Limfadenopati generalisata
·         Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
·         Retinitis Cytomegalovirus




Stadium Klinis
HIV/AIDS merupakan penyakit yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan. Pemberian terapi ARV hanya dapat menghambat replikasi virus dan memperpanjang waktu hidup pasien HIV/AIDS. Saat ini skrining HIV perlu diperluas untuk meminimalkan keterlambatan diagnosis. Keterlambatan diagnosis memberi kontribusi banyak kematian yang terkait HIV. Dengan demikian, hal ini akan menguntungkan dari segi kesehatan karena dengan diagnosis dini akan dapat mendeteksi individu dengan viral load yang tinggi.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab keterlambatan diagnosis, antara lain ketidaktahuan atau kurangnya pengetahuan serta faktor sosial ekonomi, stigma, hambatan keuangan, pengetahuan dari penyedia pelayanan kesehatan.
Menurut penelitian Samuel S. Malamba, dkk menemukan adanya keterkaitan antara kondisi klinis dengan prognosis kehidupan. Harapan hidup pada pasien dengan stadium I mencapai lebih dari 7,5 tahun dibandingkan dengan stadium II, III, IV. Dengan hasil penelitian tersebut 30 dapat disimpulkan bahwa tingkat mortalitas meningkat secara signifikan seiring dengan semakin tingginya tingkat stadium klinis.

Menurut WHO, stadium klinis HIV/AIDS dibedakan menjadi:
Stadium
Gejala Klinis
I
·         Tidak ada penurunan berat badan
·         Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
II
·         Penurunan berat badan <10%
·         ISPA berulang : sinusitis, otitis media, tonsilitis dan faringitis
·         Herpes Zooster dalam 5 tahun terakhir
·         Luka disekitar bibir (Kelitis Angularis)
·         Ulkus mulut berulang
·         Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
·         Dermatitis Seboroik
·         Infeksi jamur pada kuku
III
·         Penurunan berat badan >10%
·         Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan
·         Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia
·         TB paru dalam 1 tahun terakhir
·         Limfadenitis TB
·         Infeksi bakterial yang berat : Pneumonia, Piomiosis
·         Anemia (<8gr/dl), Trombositopeni Kronik (<50x109 per liter)
IV
·         Sindroma Wasting (HIV)
·         Pneumoni Penumocystis
·         Pneumonia Bakterial yang berat telah berulang dalam 6 bulan
·         Kandidiasis esofagus
·         Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan
·         Limfoma
·         Sarkoma Kaposi
·         Kanker Serviks yang invasif
·         Retinitis CMV
·         TB Ekstra Paru
·         Toksoplasmosis
·         Ensefalopati HIV
·         Meningitis Kriptokokus
·         Infeksi mikrobakteria non-TB meluas
·         Lekoensefalopati multifokal progresif
·         Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas





















Cara Penularan HIV/AID
                                 
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi,vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée). Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel
Lymfosit Tdan sel otak sebagai organ sasarannya.Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita.
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yangdiketahuiadalah melalui:
1.       Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a.       Homoseksual
 Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
b.      Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
2.       Transmisi Non Seksual  
a.       Transmisi Parental
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. Darah/Produk Darah Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
b.      Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

Epidemiologi HIV/AIDS
Kasus AIDS pertama di indonesia dilaporkan dari Bali pada Bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang  Meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS nampaknya masih dianggap belum banyak menghawatirkan oleh banyak pihak, tetapi sejak awal tahun 1991, watu yang dibutuhkan untuk peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (doubling time) sudah kurang dari setahun. Bahkan selama triwulan pertama tahun 1993 sudah terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS secara aksponensial. Sampai dengan akhir 1996, kasus HIV/AIDS yang tercatat di Depkes Pusat berjumlah 501 orang, terdiri dari 119 kasus AIDS dan 382 HIV+, yang dilaporkan dari 19 propinsi.
Kecepaatan penularan HIV dari tahun ke tahun dapat dijadikan salah satu indikator potensi penularan HIV di masyarakat selain faktor situasi dan perilaku beresiko serta peningkatan kasus penyakit menular seksual (PMS) di masyarakat.
Dari kecepatan HIV menyebar ke 19 propinsi, dapat dicatat bahwa gelombang penyebaran HIV di indonesia sejak awal sudah melanda propinsi yang jauh dari pusat-pusat keramaian kota Metropolitan seperti, Irian Jaya, Kaltim, NTB, Sumbar, Sumsel, Maluku, NTT, dan Sulut.



 Distribusi dan Frekuensi Infeksi Oportunistik (IO)
1.      Variabel Orang
a.       Umur
Di Indonesia penderita HIV/AIDS dengan IO terdapat golongan umur 20 -29 tahun dan pada umur 30 -39 tahun (Ditjen PPM & PL Depkes RI). Di Rumah Sakit Dharmais Jakarta, distribusi umur penderita IO berusia 25 - 49 tahun, di Rumah Sakit Sulianti Soroso dan Rumah Sakit Cipto Jakarta, penderita IO berumur 20 sampai 49 tahun. Pada umumnya penderita HIV/AIDS berumur 15-39 tahun dan insiden terbanyak pada umur 20-29 tahun, dan IO yang dialami penderita adalah defisiensi sedang, dimana CD4 < 200 μ/sel. Pada usia tersebut kematangan dari sistem immun belum mencapai 100%, bila sudah terkena virus HIV/AIDS maka kematangan immun di dalam tubuh tidak terjadi. (Ditjen PPM & PL Depkes RI)
b.      Jenis Kelamin
Secara umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki–laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara laki–laki dan perempuan. Ini disebabkan karena perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup dan perilaku hidup dan kondisi fisiologis (Budiarto Eko, 2000). Hampir 90% frekuensi IO terjadi pada orang dewasa dan remaja laki–laki. Hal ini berkaitan dengan penderita HIV lebih banyak pada laki–laki karena perilaku laki– laki yang mempergunakan suntikan narkoba lebih banyak daripada perempuan, Universitas Sumatera Utara 11 meskinpun demikian secara proporsi penderita wanita cenderung meningkat, bahkan di Amerika Latin, Eropah, Sub Sahara dan Asia, jumlah perempuan terinfeksi HIV/AIDS meningkat. (Glasier A, 2005). Di Indonesia juga rata-rata di seluruh rumah sakit yang merawat penderita HIV/AIDS dengan IO cenderung jenis kelamin laki-laki .
c.       Pekerjaan
Berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit (Budiarto Eko,2004). Yang mempunyai risiko tinggi untuk terinfeksi HIV/AIDS antara lain: orang yang bekerja di tempat hiburan, supir jarak jauh, nelayan, anak buah kapal, PSK. (Maas T.Linda dkk,2004). Pada perempuan yang paling banyak terinfeksi HIV adalah perempuan yang berpenghasilan rendah atau tidak memiliki penghasilan, karena sebagian besar perempuan yang terkena adalah yang pekerjaannya Pekerja Seks Komersial (PSK) (UNAIDS, 2005)
Pendidikan
Di Indonesia, penderita IO adalah laki–laki dengan tingkat pendidikan belum diketahui dengan pasti.
2.      Variabel Waktu
Variabel waktu merupakan faktor kedua yang diperhatikan ketika melakukan analisis morbiditas dalam studi epidemiologi karena pencatatan laporan insidensi dan prevalensi penyakit didasarkan pada waktu. (Budiarto Eko, 2004). Prevalensi HIV/AIDS dari tahun ke tahun yang dilaporkan meningkat tapi jumlah penderita IO tidak sesuai dengan prevalensi HIV/AIDS. (BPS,2003).
3.      Variabel Tempat
Tempat merupakan salah satu variabel yang penting dalam epidemiologi karena pengetahuan tempat atau lokasi penyakit–penyakit sangat dibutuhkan (Budiarto Eko,2004). IO yang timbul pada penderita HIV/AIDS tergantung kepada kuman aerob yang ada pada wilayah itu seperti di Tanzania dan Haiti jenis IO adalah pneumonia pneumocystis carinii. Di Afrika Barat, Afrika Timur dan Afrika Tengah, IO sarkoma kaposi, histoplasmosis dan kriptokokus. Sebagian di Afrika IO adalah spesies Salmonella non thypiodal, pnemokokus dan sebagian infeksi jamur penicillium. ( Alison D Grant, Kevin M De Co, BMJ,2001). Di Indonesia IO kandidiasis mulut dan esophagus, tuberculosis, cytomegalovirus, ensefalitis toksoplasma, pneumonia pnemocystia carinii, herpes simplek, mycobacterium avium complek. (DjauziS, 2002)
Jenis Infeksi Oportunistik (IO) HIV/AIDS :
IO melibatkan hampir semua sistem dalam tubuh dan gejala yang ditimbulkan tergantung dari kuman penyakit yang menyerang.
1.      Pneumonia Pneumocytis Carini (PCP)
Pada umumnya IO pada HIV/AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam, dan demam.
2.      Cytomegolo Virus (CMV).
Pada manusia, virus ini 50% hidup sebagai kuman pada paru tetapi dapat menyebabkan penyakit pneumocystis (merupakan penyebab kematian pada 30% penderita HIV/AIDS).
3.      Mycobacterium Avium
Menimbulkan pneumoni difus yang timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
4.      Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain di luar paru.
5.      Manifestasi pada Gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, berat badan turun lebih 10% per bulan. Universitas Sumatera Utara 20
6.      Manifestasi Neurologis Sekitar
penderita HIV/AIDS menunjukkan manifestasi Neurologis yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensifalitis, meningitis, demensia, milopati dan neuropati perifer.
7.      Thrush
Pertumbuhan berlebihan jamur candidias di dalam mulut, vagina dan kerongkongan, biasanya infeksi ini yang pertama kali muncul.
Determinan HIV/AIDS
HIV/AIDS adalah penyebab terbesar terjadinya penyakit IO karena, HIV/AIDS adalah virus yang meyerang sel-sel darah putih yang bertugas sebagai penangkal infeksi yang disebut limfosit –T atau disebut juga cluster differentiated (CD-4) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh kekurangan kekebalan yang disebut dengan HIV/AIDS sehingga tubuh mudah diserang penyakit infeksi yang disebut dengan Infeksi Oportunistik (IO). IO merupakan salah satu dari penyebab terbesar kematian penderita HIV/AIDS di dunia. Penyebab pasti dari IO belum diketahui secara pasti, namun meskipun demikian dari beberapa penelitian dapat diketahui beberapa faktor risiko yang meningkatkan kejadian IO pada penderita HIV/AIDS.
1.      Bibit Penyakit (Agent)
HIV/AIDS merupakan virus yang meyerang sel – sel darah putih yang merupakan kekebalan tubuh disebut limfosit T atau CD-4, mengakibatkan terjadi kekurangan kekebalan tubuh sehingga CD-4 menurun, penyebab IO termasuk Retrovirus yang mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk membuat obatnya yang dapat membunuh virus tersebut. Virus HIV/AIDS sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. HIV/AIDS termasuk Virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan berbagai desinfektan.(Calles,R.R.2000) Ditinjau dari sudut epidemiologi, IO yang terjadi tergantung kepada jumlah CD4 yang diserang oleh virus HIV/AIDS (agent) pada penderita. Semakin banyak sel limfosit T yang diserang semakin parah IO .
2.      Faktor Penjamu (Host)
Distribusi golongan umur penderita HIV/AIDS di Amerika Serikat, Eropa, Afirika dan Asia tidak jauh berbeda. Kelompok terbesar berada pada umur 30 -39 tahun, sekarang pada umur 15 -39 tahun, karena mereka termasuk kelompok umur yang aktif melakukan hubungan seksual (UNSAID, 2006) Di Indonesia golongan umur 20 -29 tahun jumlah kasus yang tinggi yaitu 5.298 kasus dan pada usia 30 -39 tahun jumlah kasus 2.688 pada tahun 2007, pada tahun Universitas Sumatera Utara 17 2008 golongan umur 20- 29 tahun jumlah kasus menjadi 6364 kasus dan pada usia 30-39 tahun menjadi 3298 kasus (Ditjen PPM &PL Depkes RI) .
3.      Faktor Lingkungan (Environment)
Lingkungan biologis, sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan penyebaran HIV/AIDS. Lingkungan biologis antara lain adanya luka-luka pada alat genitalia, herpes simplex dan syphilis meningkatkan prevalensi penularan HIV/AIDS. Demikian juga dengan penggunaan obat KB pada kelompok wanita tuna susila di Nairobi, dapat meningkatkan penularan HIV/AIDS. Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual masyarakat. Bila faktorfaktor ini mendukung pada perilaku seksual yang bebas akan meningkatkan penularan HIV/AIDS dalam masyarakat.



Masa Inkubasi HIV/AIDS
Masa inkubasi pada penderita AIDS, berjalan selama 2 tahun dan akan meninggal setelah organ-organ vital tidak berfungsi. Selama waktu itu pula ia dapat merupakan sumber penularan pasif terbuka (mudah terjangkit virus HIV/AIDS). Sebaliknya pada masa inkubasi, dimana virus terus berkembang biak merusak sistem kekebalan sampai gejala dapat memakan waktu 10 tahun, selama ini penderita tetap merasa enak dan tampak sehat. Pada masa ini sumber penularan aktif tersembunyi, namun berbahaya karena pengidap HIV ini masih mampu melakukan kegiatan sosial apa saja dalam waktu lama termasuk donor darah, hubungan seksual dan hamil. Semakin lama fase masa inkubasi dengan sendirinya semakin banyak virus yang potensial pula sebagai sumber penularannya.
Di dalam keadaan wajar virus HIV hanya bisa pindah atau menular lewat aliran darah, limfa, jaringan lifoid dan dalam jumlah sedikit berada di cairan mani serta cairan pada kelamin wanita dan tidak didapatkan dalam air ludah, air seni, tinja dankeringat.
Secara lengkap, tahapan dari sejak terinfeksi HIV hingga tahap AIDS meliputi:
1.      Tahap Jendela (Window Period)
Tahap jendela merupakan masa ketika HIV sudah masuk ke dalam tubuh seseorang, tapi tubuh belum membentuk antibodi. Akibatnya, ketika menjalani tes HIV, hasilnya negatif. Lama periode jendela berkisar 0-6 bulan sejak terinfeksi HIV.
Meskipun hasil tes masih negatif, namun jika seseorang sudah terinfeksi HIV, maka ia sudah dapat menularkan ke orang lain.
2.      Masa HIV tidak bergejala (Asimptomatik)
Belum ada gejala apapun secara fisik. Tubuh masih dapat bekerja secara normal.
3.      Tahap AIDS (Simptomatik)
Akibat kekebalan tubuh sudah semakin berkurang, maka mulai muncul gejala-gejala penyakit ikutan (oportunistik).
a.       Tahap awal: keringat berlebihan di malam hari, diare terus menerus, flu berkepanjangan
b.      Tahap stadium lanjut: radang paru-paru, kanker kulit, infeksi otak, dan gejala penyakit oportunistik lainnya.
Riwayat Alamiah HIV/AIDS
1.      Tahap Pre Patogenesis
Tahap pre patogenesis tidak terjadi pada penyakit HIV AIDS. Hal ini karena penularan penyakit HIV terjadi secara langsung (kontak langsung dengan penderita). HIV dapat menular dari suatu satu manusia ke manusia lainnya melalui kontak cairan pada alat reproduksi, kontak darah (misalnya trafusi darah, kontak luka, dll), penggunaan jarum suntik secara bergantian dan kehamilan.
2.      Tahap Patogenesis
Pada fase ini virus akan menghancurkan sebagian besar atau keseluruhan sistem imun penderita dan penderita dapat dinyatakan positif mengidap AIDS.
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan kerusakan neurologis.
Gejala klinis pada orang dewasa ialah jika ditemukan dua dari tiga gejala utama dan satu dari lima gejala minor. Gejala utamanya antara lain demam berkepanjangan, penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu tiga bulan, dan diare kronis selama lebih dari satu bulan secara berulang-ulang maupun terus menerus.
Gejala minornya yaitu batuk kronis selama lebih dari 1 bulan, munculnya Herpes zoster secara berulang-ulang, infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh Candida albicans, bercak-bercak gatal di seluruh tubuh, serta pembengkakan kelenjar getah bening secara menetap di seluruh tubuh. Akibat rusaknya sistem kekebalan, penderita menjadi mudah terserang penyakit-penyakit yang disebut penyakit oportunitis. Penyakit yang biasa menyerang orang normal seperti flu, diare, gatal-gatal, dan lain-lain. Bisa menjadi penyakit yang mematikan di tubuh seorang penderita AIDS.
3.      Tahap Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan rata-rata cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa inkubasi ini penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat tedeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV.
Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini.
4.      Tahap Penyakit Dini
Penderita mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebalan tubuhnya menurun/ lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani uji antibody HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang beresiko terkena virus HIV.
5.      Tahap Penyakit Lanjut
Pada tahap ini penderita sudah tidak bias melakukan aktivitas apa-apa. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk serta nyeri dada. Penderita mengalami jamur pada rongga mulut dan kerongkongan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat.
Pada sistem persyarafan ujung (peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang selalu mengalami tensi darah rendah dan impotent. Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau cacar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (folliculities), kulit kering berbercak-bercak.
6.      Tahap Post Patogenesis (Tahap Penyakit Akhir)
Fase ini merupakan fase terakhir dari perjalanan penyakit AIDS pada tubuh penderita. Fase akhir dari penderita penyakit AIDS adalah meninggal dunia.

Patofisiologi HIV/AIDS   
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Retrovirus mempunyai kemamuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit.
Sel B
Fungsi utam sel B adalah sebagai imunitas antibodi humoral. Masing-masing sel B mampu mengenali antigen spesifik dan mempunyai kemempuan untuk mensekresi antibodi spesifik. Antibodi dikelompokkan menjadi 5 jenis yaitu IgG, IgM, IgE, IgD, IgA. Antibodi adalah molekul khusus yang mengandung serum protein tinggi yang bekerja dengan cara membungkus antigen dan membuat antigen lebih mudah untuk difagositosis atau membungkus antigen dan memicu sistem komplemen (berhubungan dengan sistem inflamasi)
Limfosit T
Limfosit T atau Sel T mempunyai 2 funsi utama, yaitu :
1.      Regulasi sistem imun
2.      Membunuh sel yang menghasilkan target khusus
Secara imunologis, sel T yang terdiri atas T-helper , disebut limfosit CD4+, akan mengalami perubahan secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secraa langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung sampul HIV tyang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T.  Secara tidak langsung, lapisan luar protein yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan Co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk kedalam sel membran.
Virus HIV yang telah berhasi masuk kedalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama manosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus dan Langerhans di kulit. Efek dari infeksi sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis ( Strewart, 1997).
Fagosit
Termasuk didalamnya adalah monosit dan makrofag, sel darah putih dalam jumlah besar yang mengelilingi dan mencerna sel yang membawa partikel-partikel antigen. Ditemukan di seluruh tubuh, fagosit membersihkan tubuh dari sel yang rusak, memulai respn imun dengan membawa APC pada limfosit, yang penting dalam regulasi dan inflamasi respon imun, dan membawa reseptor untuk sitokin. Sel dendrit, tipe lain dari fagosit juga merupakan APC. Neutrofil adalah fagosit granulosit yang penting dalam respon inflamasi. 
Komplemen
Sistem komplemen atas 25 protein. Komplemen mempunyai kemampuan untuk mengurangi respon inflamasi, dan juga berfungsi dalam memfasilitasi fagositosis atau melemahkan membran sel bakteri. Protein komplemen berinteraksi satu sama lain dalam tahapan aktivasi sekuensial, membantu proses inflamasi. Meskipun demikian sistem imun mempunyai kemampuan melawan berbagai macam predator, tetapi masih dapt dilawan oleh HIV.



Siklus Hidup HIV/AIDS
Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat pendek; hal ini berarti secara terus-menerus menggunakan sel pejamu baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, dimana replikasi virus ini menjadi semakin cepat. Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu :
1.      Masuk dan mengikat
2.      Reverse Transkriptase
3.      Replikasi
4.      Budding
5.      Maturasi 



Diagnosis HIV/AIDS
Dasar dalam menegakkan diagnosa AIDS adalah :
1.      Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium).
2.      Adanya tanda-tanda Immunodeficiency.
3.      Adanya gejala infeksi oportunistik.
Voluntary Counseling and Testing (VCT), merupakan cara untuk mengetahui status HIV seseorang melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes darah didahului dengan konseling sebelum dan sesudah tes (counseling), menjaga kerahasiaan (confidensiality) serta adanya persetujuan tertulis ( informed consent). Jika status HIV sudah diketahui, untuk ibu dengan status HIV positif dilakukan intervensi agar ibu tidak menularkan kepada bayi yang di kandungnya. Untuk HIV negatif, mereka juga mendapat konseling tentang bagaimana menjaga perilakunya agar tetap berstatus HIV negatif. Layanan konseling dan tes HIV tersebut dijalankan di layanan HIV-AIDS, layanan kesehatan Ibu dan Anak dan layanan Keluarga Berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan dan kini juga telah tersedia di Pusat Kesehatan Masyarakat ( Puskesmas).
Tes Skrining digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif. Tes yang lain biasanya digunakan mengonfirmasi hasil ELISA, antara lain Western Blot (WB), indirect immunofluoresence assay (IFA) ataupun radio-immunoprecipitation assay (RIPA)
Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi oportunistik atau sarkoma kaposi pada usia muda kemudian dilakukan uji serologis untuk mendeteksi zat anti HIV (ELISA, Western Blot).

Data-Data Mengenai HIV/AIDS
Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia
Dilapor s/d September 2014
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI



Data HIV-AIDS Triwulan IV 2015 yang disajikan adalah bersumber dari Sistem Informasi HIV-AIDS & IMS (SIHA). Mulai periode pelaporan pelaporan Oktober-Desember 2015 terjadi perubahan dan perkembangan data dalam laporan pasca Kegiatan Validasi dan Harmonisasi Data bersama seluruh provinsi di Indonesia bulan November 2015. Hal ini dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas laporan. Laporan perkembangan HIV-AIDS di Indonesia Triwulan IV Tahun 2015 sebagai berikut:
Situasi Masalah HIV-AIDS Triwulan IV (Januari-Desember) Tahun 2015:
1.      HIV
a.       Dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2015 jumlah infeksi HIV yang baru dilaporkan sebanyak 6.144 kasus.
b.      Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (17%), dan kelompok umur >= 50 tahun (7%).
c.       Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
d.      Persentase faktor risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (47%), LSL (Lelaki Seks Lelaki) (22%), lain-lain (28%) dan penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (3%).
2.      AIDS
a.       Dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2015 jumlah AIDS yang dilaporkan baru sebanyak 2,954 orang.
b.      Persentase AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (37,3%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun (27.9%) dan kelompok umur 40-49 tahun (18,8%).
c.       Rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
d.      Persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual (80,3%), LSL (Lelaki Seks Lelaki) (8%), penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (2.6%), dan dari ibu positif HIV ke anak (4.6%).
e.       Angka kematian (CFR) AIDS menurun dari 1,62% pada tahun 2014 menjadi 0,95% pada bulan Desember tahun 2015
Jumlah HIV & AIDS yang dilaporkan 1 Januari s.d 31 Desember 2015 adalah :
HIV = 30.935
AIDS = 6..081
Secara kumulatif HIV & AIDS 1 April 1987 s.d 31 Desember 2015
adalah :
Total HIV     = 191,073
Total AIDS   = 77.112
Kematian       = 13,247

Upaya Pencegahan dan Program Pengendalian HIV/AIDS?
 Jenis Pencegahan
1.      Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya memodifikasi faktor risiko atau mencegah berkembangnya faktor risiko, sebelum dimulainya perubahan patologis, dilakukan pada tahap suseptibel dan induksi penyakit, dengan tujuan mencegah atau menunda terjadinya kasus baru penyakit (AHA Task Force, 1998). Terma yang berkaitan dengan pencegahan primer adalah pencegahan primordial pencegahan primordial adalah strategi pencegahan penyakit dengan
menciptakan lingkungan yang dapat mengeliminasi faktor risiko, sehingga tidak diperlukan
intervensi preventif lainnya (Wallace, 2007). Dalam kasus HIV/AIDS dapat dilakukan promsi penggunaan kondom untuk seks aman, promosi untuk menghindari seks bebas, dan sebagainnya.
2.      Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan pada fase penyakit asimtomatis, tepatnya pada tahap preklinis, terhadap timbulnya gejala-gejala penyakit secara klinis melalui deteksi dini (early detection). Adapun tujuan pada pencegahan sekunder yaitu diagnosis dini dan pengobatan yang tepat. Pada kasus HIV/AIDS Beberapa usaha deteksi dini di antaranya :
a.       Mencari penderita di dalam masyarakat dengan jalan pemeriksaan : misalnya pemeriksaan darah, urine dan pemeriksaan ELISA dan WESTERN BLOT untuk yang beresiko tinggi, dan sebagainya serta segera memberikan pengobatan
b.      Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit yang telah berhubungan dengan penderita penyakit HIV/AIDS (contact person) untuk diawasi agar derita penyakitnya timbul dapat segera diberikan pengobatan dan tindakan-tindakan lain yang perlu misalnya isolasi, desinfeksi dan sebagainya.
c.       Pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar mereka dapat mengenal gejala penyakit pada tingkat awal dan segera mencari pengobatan. Masyarakat perlu menyadari bahwa berhasil atau tindaknya usaha pengobatan, tidak hanya tergantung pada baiknya jenis obat serta keahlian tenaga kesehatannya, melainkan juga tergantung pada kapan pengobatan itu diberikan.
3.      Pencegahan Tersier
Dalam kasus HIV/AIDS dapat dilakukan pemulihan kesehatan (Rehabilitation), dengan cara :
a.       Mengembangkan lembaga – lembaga rehablitasi HIV/AIDS dengan mengikut sertakan masyarakat.
b.      Menyadarkan masyarakat untuk menerima mereka kembali dengan memberi dukungan moral, setidaknya bagi yang bersangkutan untuk bertahan.
c.       Mengusahakan perkampungan rehabilitasi sosial sehingga setiap penderita yang telah cacat mampu mempertahankan diri.
d.      Penyuluhan dan usaha – usaha kelanjutannya harus tetap dilakukan seseorang setelah ia sembuh dari suatu penyakit.
Tahun 2006 berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 2006 telah dibentuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional bertugas:
a.       Menetapkan kebijakan dan rencana strategis serta pedoman umum pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS;
b.      Menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan;
c.       Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan, pelayanan, pemantauan, pengendalian dan penanggulangan AIDS;
d.      Melakukan penyebarluasan informasi mengenai AIDS kepada berbagai media massa, dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan keresahan masyarakat;
e.       Melakukan kerja sama regional dan internasional dalam rangka pencegahan dan penanggulangan AIDS;
f.       Mengkoordinasikan pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan masalah AIDS;
g.      Mengendalikan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS;
h.      Memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS.






Upaya Yang Telah Dilakukan Pemerintah Kabupaten Jember Terhadap Dampak dan Tindak Pencegahan Penyakit Menular Hiv/Aids Di Kabupaten Jember
1.      Strategi Promotif : Pendidikan HIV/AIDS Kepada Masyarakat dan Populasi Kunci.
Upaya promotif lebih berfokus pada suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat  promosi kesehatan. Upaya ini dilaksanakan sebagai salah satu bentuk  pencegahan sejak dini dengan memberikan  pengetahuan tentang penyebaran,  pencegahan, dan dampak dari HIV/AIDS kepada masyarakat khususnya populasi kunci. Harapan yang ingin dicapai dari  pendidikan HIV/AIDS ini adalah  perubahan pola hidup yang tidak sehat di dalam masyarakat. Sosialisasi HIV/AIDS ke masyarakat umum baik melalui baliho maupun leaflet yang disediakan di layanan-layanan kesehatan dan melakukan kerjasama dengan seluruh masyarakat dapat meningkatkan kelompok-kelompok masyarakat peduli AIDS. Kasus HIV/AIDS selain ditemukan  pada populasi kunci, saat ini sudah mengarah kepada kelompok umum yakni Anak Sekolah/Mahasiswa dan Ibu Rumah Tangga.
Pada tahun 2012 melalui tema HAS yakni Lindungi Perempuan dan Anak dari HIV dan AIDS dilaksanakan sosialisasi di sekolah-sekolah maupun di Universitas dengan mengusung slogan ABAT “Aku Bangga Aku Tahu dan juga sosialisasi kepada kelompok ibu rumah tangga dengan melaksanakan seminar yang diprakarsai oleh KPA, yakni dengan mengundang perwakilan PKK dari setiap kecamatan dan desa yang ada di Kabupaten Jember.
2.      Strategi Preventif : Tindakan Pencegahan Penularan dan Peyediaan Layanan Tes HIV
Upaya preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. Dalam rangka mencegah berkembangnya penyebaran HIV/AIDS yang merupakan ancaman serius bagi kehidupan manusia perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangan secara terpadu, efektif, dan efisien. Dalam upaya pencegahan sejak dini  penularan HIV/AIDS terhadap masyarakat terutama kelompok umur produktif baik yang tidak beresiko maupun beresiko, Dinas Kesehatan Kabupaten Jember mengenalkan metode ABCDE agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
metode ABCDE Metode ini diharapkan dapat merubah pola atau  perilaku hidup masyarakat menjadi lebih sehat. ABCDE sendiri merupakan anjuran atau peringatan untuk menjauhi hal-hal atau kegiatan yang beresiko dalam  penularan HIV/AIDS. Adapun slogan ABCDE sebagai berikut :
 A = Abstinancy, absen untuk berhubungan seks yang berisiko bila diketahui pasangan memiliki potensi penyakit menular seksual.
B = Be Faithful , salah satu seks sehat adalah denganbe faithful atau setia.
C = Condom , jika hubungan seks yang dilakukan akan berisiko menuai penyakit, maka sebaiknya menggunakan  kondom.
D = Drugs , menjauhi obat-obatan terlarang karena baik yang diminum atau disuntik dapat berpotensi menyebabkan HIV. Obat-obatan tersebut jika ditelan seperti ekstasi dapat menyebabkan gairah seks meningkat, hilang sadar dan akal sehat, sehingga seks yang dilakukan cenderung tidak aman. Demikian  juga pemakaian suntik, jarum suntik yang tidak steril dapat meningkatkan risiko  penularan virus HIV.
E = Equipment ,equipment yang dimaksud merupakan perlengkapan secara umum. Tidak dianjurkan untuk menggunakan  peralatan yang beresiko seperti jarum suntik yang tidak steril baik pada penasun atau pemakaian tato, hal ini dikarenakan  penularan virus HIV dapat melalui darah.
a.       KPA dibantu oleh LSM melakukan  penjangkauan populasi beresiko (WPS, Waria, LSL, dan Pelanggan) yang diharapkan terjadi perubahan perilaku melalui peningkatan pengetahuan dan mengikuti pelayanan kesehatan yang telah disediakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jember.
b.      KPA Kabupaten Jember membentuk outlet-outlet kondom di  beberapa lokasi. Penyediaan outlte-outlet kondom baik kondom laki-laki,  perempuan, dan lubrikan didistribusikan oleh KPA Kabupaten Jember yang bersumber dari Global Fund  dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana  Nasional (BKKBN). Adanya outlet kondom tersebut diharapkan mampu mengurangi resiko penularan HIV pada hubungan beresiko.
c.       KPA Kabupaten Jember juga menyediakan Layanan Alat Suntik Steril (LASS). Hal ini merupakan upaya pengurangan dampak  buruk kepada Penasun ( Harm Reduction).
d.      Dinas Kesehatan Kabupaten Jember memiliki program yaitu PMTCT ( Prevention of Mother-to-Child Transmission), dimana setiap ibu hamil diupayakan untuk mengikuti konseling dan tes HIV.
3.      Strategi Kuratif : Fasilitas Pengobatan HIV/AIDS Bagi ODHA
Upaya kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan  penyakit, pengendalian penyakit, atau  pengendalian agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
Pemberian ARV Kombinasi yang tepat antara berbagai obat-obatan antiretroviral (ARV) dapat memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda awal terjadinya AIDS. Pengobatan dan  perawatan yang ada terdiri dari sejumlah unsur yang berbeda, yang meliputi konseling dan tes mandiri (VCT), dukungan bagi pencegahan penularan HIV, konseling tidak lanjut, saran-saran mengenai makanan dan gizi, pengobatan IMS, pengelolaan efek nutrisi, pencegahan dan perawatan infeksi oportunistik (IO), dan pemberian ARV.
4.      Strategi Rehabilitatif : Mitigasi Dampak HIV/AIDS
Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas  penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Dinas Pendidikan Kabupaten Jember tetap memberi kesempatan untuk melanjutkan sekolah tanpa adanya diskriminasi. Sedangkan untuk anak atau  balita yang orang tuanya ODHA atau yatim/piatu mendapat bantuan berupa susu untuk tetap mendapatkan gizi dan nutrisi yang baik. Selain itu, terdapat dukungan sosial berbasis keluarga untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA dan keluarganya yang dilakukan di Klinik Care Support and Treatment  (CST) dengan dibentuknya Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) untuk saling memberikan dukungan antar ODHA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar