HIV (Human Immunodeficiency Virus)
dan
AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome)
Pengertian HIV/AIDS
Definisi
dan pengertian menurut Depkes RI (2003), adalah sebagai berikut:Virus HIV
adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang
menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4
sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul
tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik
terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan
rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut. Penyakit AIDS AIDS
adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak
atau efek dari perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Sindrom
AIDS timbul akibat melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh karena sel
CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV.
HIV
merupakan retrovirus sitopatik nontransforming yang menimbulkan imunodefisiensi
lewat destruksi sel - sel T yang menjadi target (Mitchel, Kumar, Abbas &
Fausto)
HIV
adalah kependekan dari Human Immunodeficiency Virus. Artinya virus yang hanya
dapat menginfeksi manusia, memperbanyak diri dalam sel manusia, sehingga
menurunkan kekebalan manusia terhadap penyakit infeksi. (Lydia Harlina Martono
& Satya Joewaana)
HIV merupakan
penyakit yang diibaratkan gunung es, dimana pangkalnya jauh lebih besar dari
ujungnya yang tampak pada permukaan. (Ida Bagus Gde Manuaba)
HIV adalah singkatan dari Human
Immunodeficiency Virus. Virus ini secara pelan - pelan mengurangi kekebalan
tubuh manusia. (Komkat Kwi)
HIV
merupakan retrovirus yang menurunkan kemampuan sistem imun. Sekali terjangkit,
HIV menghasilkan suatu spektrum penyakit yang akan berkembang dalam kebanyakan
kasus, mulai dari laten yang bersifat klinis atau status asimtomatik sampai
kondisi AIDS, ditandai dengan hitung sel CD4<200 atau adanya infeksi
oportinistik, tanpa memerhatikan hitung sel CD4 (Geri Morgan & Carole
Hamilton)
Etiologi
HIV/AIDS
Penyebab
AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier
dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy
Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984
mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986
nama firus dirubah menjadi HIV.
Human
Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli
merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia
masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai
reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel
dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu
dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama
hidup penderita tersebut.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian
besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti
berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim
reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas
lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor
Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas,
bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan
seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai
disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya,
tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV hidup
dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat
juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan otak.
Gejala
dan Stadium Klinis HIV/AIDS
Gejala
Tanda dan gejala klinis
yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit dibedakan karena bermula dari
gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum
dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Rasa
lelah dan lesu
b. Berat
badan menurun secara drastis
c. Demam
yang sering dan berkeringat waktu malam
d. Mencret
dan kurang nafsu makan
e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam
mulut
f. Pembengkakan
leher dan lipatan paha
g. Radang
paru
h. Kanker
kulit
Gejala Mayor dan Gejala Minor Infeksi
HIV/AIDS
Gejala Mayor
|
Gejala Minor
|
·
Berat badan menurun >10%
dalam 1 bulan
·
Diare kronik berlangsung
>1 bulan
·
Demam berkepanjangan >1
bulan
·
Penurunan kesadaran
·
Demensia/HIV ensefalopati
|
·
Batuk menetap >1 bulan
·
Derrmatitis generalisata
·
Herpes Zooster
multi-segmental dan berulang
·
Kandidiasis orofaringeal
·
Herpes Simpleks kronis
progresif
·
Limfadenopati generalisata
·
Infeksi jamur berulang pada
alat kelamin wanita
·
Retinitis Cytomegalovirus
|
Stadium
Klinis
HIV/AIDS merupakan penyakit yang sampai saat
ini belum dapat disembuhkan. Pemberian terapi ARV hanya dapat menghambat
replikasi virus dan memperpanjang waktu hidup pasien HIV/AIDS. Saat ini
skrining HIV perlu diperluas untuk meminimalkan keterlambatan diagnosis.
Keterlambatan diagnosis memberi kontribusi banyak kematian yang terkait HIV.
Dengan demikian, hal ini akan menguntungkan dari segi kesehatan karena dengan
diagnosis dini akan dapat mendeteksi individu dengan viral load yang tinggi.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi
penyebab keterlambatan diagnosis, antara lain ketidaktahuan atau kurangnya
pengetahuan serta faktor sosial ekonomi, stigma, hambatan keuangan, pengetahuan
dari penyedia pelayanan kesehatan.
Menurut penelitian Samuel S. Malamba, dkk
menemukan adanya keterkaitan antara kondisi klinis dengan prognosis kehidupan.
Harapan hidup pada pasien dengan stadium I mencapai lebih dari 7,5 tahun
dibandingkan dengan stadium II, III, IV. Dengan hasil penelitian tersebut 30
dapat disimpulkan bahwa tingkat mortalitas meningkat secara signifikan seiring
dengan semakin tingginya tingkat stadium klinis.
Menurut WHO, stadium klinis HIV/AIDS
dibedakan menjadi:
Stadium
|
Gejala Klinis
|
I
|
·
Tidak
ada penurunan berat badan
·
Tanpa
gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
|
II
|
·
Penurunan
berat badan <10%
·
ISPA
berulang : sinusitis, otitis media, tonsilitis dan faringitis
·
Herpes
Zooster dalam 5 tahun terakhir
·
Luka
disekitar bibir (Kelitis Angularis)
·
Ulkus
mulut berulang
·
Ruam
kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
·
Dermatitis
Seboroik
·
Infeksi
jamur pada kuku
|
III
|
·
Penurunan
berat badan >10%
·
Diare,
demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan
·
Kandidiasis
oral atau Oral Hairy Leukoplakia
·
TB
paru dalam 1 tahun terakhir
·
Limfadenitis
TB
·
Infeksi
bakterial yang berat : Pneumonia, Piomiosis
·
Anemia
(<8gr/dl), Trombositopeni Kronik (<50x109 per liter)
|
IV
|
·
Sindroma
Wasting (HIV)
·
Pneumoni
Penumocystis
·
Pneumonia
Bakterial yang berat telah berulang dalam 6 bulan
·
Kandidiasis
esofagus
·
Herpes
Simpleks Ulseratif >1 bulan
·
Limfoma
·
Sarkoma
Kaposi
·
Kanker
Serviks yang invasif
·
Retinitis
CMV
·
TB
Ekstra Paru
·
Toksoplasmosis
·
Ensefalopati
HIV
·
Meningitis
Kriptokokus
·
Infeksi
mikrobakteria non-TB meluas
·
Lekoensefalopati
multifokal progresif
·
Kriptosporidiosis
kronis, mikosis meluas
|
Cara
Penularan HIV/AID
Secara umum ada
5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber
infeksi,vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan
tempat masuk kuman (port’d entrée). Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya
menyerang sel
Lymfosit Tdan sel otak sebagai organ sasarannya.Virus
HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat
membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai
cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan
vagina atau servik dan darah penderita.
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus
HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yangdiketahuiadalah melalui:
1.
Transmisi Seksual
Penularan
melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan
penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan
dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap
pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung
pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks.
Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti
terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan
tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan
merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a.
Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa
tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun
dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku
seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual
yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini
sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami
pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
b.
Heteroseksual
Di
Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual
pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif
baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
2.
Transmisi Non Seksual
a.
Transmisi Parental
Yaitu
akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan
jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi
melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan
terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
Darah/Produk Darah Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di
negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui
jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa
sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah
lebih dari 90%.
b.
Transmisi Transplasental
Penularan
dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui.
Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.
Epidemiologi
HIV/AIDS
Kasus AIDS pertama di indonesia
dilaporkan dari Bali pada Bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang
wisatawan Belanda yang Meninggal di RSUP
Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun
1990, peningkatan kasus HIV/AIDS nampaknya masih dianggap belum banyak
menghawatirkan oleh banyak pihak, tetapi sejak awal tahun 1991, watu yang
dibutuhkan untuk peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (doubling
time) sudah kurang dari setahun. Bahkan selama triwulan pertama tahun 1993
sudah terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS secara aksponensial. Sampai dengan
akhir 1996, kasus HIV/AIDS yang tercatat di Depkes Pusat berjumlah 501 orang,
terdiri dari 119 kasus AIDS dan 382 HIV+, yang dilaporkan dari 19 propinsi.
Kecepaatan penularan HIV dari tahun ke
tahun dapat dijadikan salah satu indikator potensi penularan HIV di masyarakat
selain faktor situasi dan perilaku beresiko serta peningkatan kasus penyakit
menular seksual (PMS) di masyarakat.
Dari
kecepatan HIV menyebar ke 19 propinsi, dapat dicatat bahwa gelombang penyebaran
HIV di indonesia sejak awal sudah melanda propinsi yang jauh dari pusat-pusat
keramaian kota Metropolitan seperti, Irian Jaya, Kaltim, NTB, Sumbar, Sumsel,
Maluku, NTT, dan Sulut.
Distribusi dan Frekuensi Infeksi Oportunistik
(IO)
1. Variabel
Orang
a. Umur
Di
Indonesia penderita HIV/AIDS dengan IO terdapat golongan umur 20 -29 tahun dan
pada umur 30 -39 tahun (Ditjen PPM & PL Depkes RI). Di Rumah Sakit Dharmais
Jakarta, distribusi umur penderita IO berusia 25 - 49 tahun, di Rumah Sakit
Sulianti Soroso dan Rumah Sakit Cipto Jakarta, penderita IO berumur 20 sampai
49 tahun. Pada umumnya penderita HIV/AIDS berumur 15-39 tahun dan insiden
terbanyak pada umur 20-29 tahun, dan IO yang dialami penderita adalah
defisiensi sedang, dimana CD4 < 200 μ/sel. Pada usia tersebut kematangan
dari sistem immun belum mencapai 100%, bila sudah terkena virus HIV/AIDS maka
kematangan immun di dalam tubuh tidak terjadi. (Ditjen PPM & PL Depkes RI)
b. Jenis
Kelamin
Secara
umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki–laki maupun perempuan,
tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara laki–laki dan
perempuan. Ini disebabkan karena perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup dan
perilaku hidup dan kondisi fisiologis (Budiarto Eko, 2000). Hampir 90%
frekuensi IO terjadi pada orang dewasa dan remaja laki–laki. Hal ini berkaitan
dengan penderita HIV lebih banyak pada laki–laki karena perilaku laki– laki
yang mempergunakan suntikan narkoba lebih banyak daripada perempuan,
Universitas Sumatera Utara 11 meskinpun demikian secara proporsi penderita
wanita cenderung meningkat, bahkan di Amerika Latin, Eropah, Sub Sahara dan
Asia, jumlah perempuan terinfeksi HIV/AIDS meningkat. (Glasier A, 2005). Di
Indonesia juga rata-rata di seluruh rumah sakit yang merawat penderita HIV/AIDS
dengan IO cenderung jenis kelamin laki-laki .
c. Pekerjaan
Berbagai
jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit
(Budiarto Eko,2004). Yang mempunyai risiko tinggi untuk terinfeksi HIV/AIDS
antara lain: orang yang bekerja di tempat hiburan, supir jarak jauh, nelayan,
anak buah kapal, PSK. (Maas T.Linda dkk,2004). Pada perempuan yang paling
banyak terinfeksi HIV adalah perempuan yang berpenghasilan rendah atau tidak
memiliki penghasilan, karena sebagian besar perempuan yang terkena adalah yang
pekerjaannya Pekerja Seks Komersial (PSK) (UNAIDS, 2005)
Pendidikan
Di
Indonesia, penderita IO adalah laki–laki dengan tingkat pendidikan belum diketahui
dengan pasti.
2. Variabel
Waktu
Variabel
waktu merupakan faktor kedua yang diperhatikan ketika melakukan analisis
morbiditas dalam studi epidemiologi karena pencatatan laporan insidensi dan
prevalensi penyakit didasarkan pada waktu. (Budiarto Eko, 2004). Prevalensi
HIV/AIDS dari tahun ke tahun yang dilaporkan meningkat tapi jumlah penderita IO
tidak sesuai dengan prevalensi HIV/AIDS. (BPS,2003).
3. Variabel
Tempat
Tempat
merupakan salah satu variabel yang penting dalam epidemiologi karena
pengetahuan tempat atau lokasi penyakit–penyakit sangat dibutuhkan (Budiarto
Eko,2004). IO yang timbul pada penderita HIV/AIDS tergantung kepada kuman aerob
yang ada pada wilayah itu seperti di Tanzania dan Haiti jenis IO adalah
pneumonia pneumocystis carinii. Di Afrika Barat, Afrika Timur dan Afrika
Tengah, IO sarkoma kaposi, histoplasmosis dan kriptokokus. Sebagian di Afrika
IO adalah spesies Salmonella non thypiodal, pnemokokus dan sebagian infeksi
jamur penicillium. ( Alison D Grant, Kevin M De Co, BMJ,2001). Di Indonesia IO
kandidiasis mulut dan esophagus, tuberculosis, cytomegalovirus, ensefalitis
toksoplasma, pneumonia pnemocystia carinii, herpes simplek, mycobacterium avium
complek. (DjauziS, 2002)
Jenis
Infeksi Oportunistik (IO) HIV/AIDS :
IO
melibatkan hampir semua sistem dalam tubuh dan gejala yang ditimbulkan
tergantung dari kuman penyakit yang menyerang.
1. Pneumonia
Pneumocytis Carini (PCP)
Pada
umumnya IO pada HIV/AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak
nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam, dan demam.
2. Cytomegolo
Virus (CMV).
Pada
manusia, virus ini 50% hidup sebagai kuman pada paru tetapi dapat menyebabkan
penyakit pneumocystis (merupakan penyebab kematian pada 30% penderita
HIV/AIDS).
3. Mycobacterium
Avium
Menimbulkan
pneumoni difus yang timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
4. Mycobacterium
Tuberculosis
Biasanya
timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ
lain di luar paru.
5. Manifestasi
pada Gastrointestinal
Tidak
ada nafsu makan, diare kronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.
Universitas Sumatera Utara 20
6. Manifestasi
Neurologis Sekitar
penderita
HIV/AIDS menunjukkan manifestasi Neurologis yang biasanya timbul pada fase
akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensifalitis, meningitis,
demensia, milopati dan neuropati perifer.
7. Thrush
Pertumbuhan
berlebihan jamur candidias di dalam mulut, vagina dan kerongkongan, biasanya
infeksi ini yang pertama kali muncul.
Determinan HIV/AIDS
HIV/AIDS adalah penyebab terbesar
terjadinya penyakit IO karena, HIV/AIDS adalah virus yang meyerang sel-sel
darah putih yang bertugas sebagai penangkal infeksi yang disebut limfosit –T
atau disebut juga cluster differentiated (CD-4) yang merusak sistem kekebalan
tubuh manusia sehingga tubuh kekurangan kekebalan yang disebut dengan HIV/AIDS
sehingga tubuh mudah diserang penyakit infeksi yang disebut dengan Infeksi
Oportunistik (IO). IO merupakan salah satu dari penyebab terbesar kematian
penderita HIV/AIDS di dunia. Penyebab pasti dari IO belum diketahui secara
pasti, namun meskipun demikian dari beberapa penelitian dapat diketahui
beberapa faktor risiko yang meningkatkan kejadian IO pada penderita HIV/AIDS.
1. Bibit
Penyakit (Agent)
HIV/AIDS
merupakan virus yang meyerang sel – sel darah putih yang merupakan kekebalan
tubuh disebut limfosit T atau CD-4, mengakibatkan terjadi kekurangan kekebalan
tubuh sehingga CD-4 menurun, penyebab IO termasuk Retrovirus yang mudah
mengalami mutasi sehingga sulit untuk membuat obatnya yang dapat membunuh virus
tersebut. Virus HIV/AIDS sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. HIV/AIDS
termasuk Virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih,
sinar matahari dan berbagai desinfektan.(Calles,R.R.2000) Ditinjau dari sudut
epidemiologi, IO yang terjadi tergantung kepada jumlah CD4 yang diserang oleh
virus HIV/AIDS (agent) pada penderita. Semakin banyak sel limfosit T yang
diserang semakin parah IO .
2. Faktor
Penjamu (Host)
Distribusi
golongan umur penderita HIV/AIDS di Amerika Serikat, Eropa, Afirika dan Asia
tidak jauh berbeda. Kelompok terbesar berada pada umur 30 -39 tahun, sekarang
pada umur 15 -39 tahun, karena mereka termasuk kelompok umur yang aktif
melakukan hubungan seksual (UNSAID, 2006) Di Indonesia golongan umur 20 -29
tahun jumlah kasus yang tinggi yaitu 5.298 kasus dan pada usia 30 -39 tahun
jumlah kasus 2.688 pada tahun 2007, pada tahun Universitas Sumatera Utara 17
2008 golongan umur 20- 29 tahun jumlah kasus menjadi 6364 kasus dan pada usia
30-39 tahun menjadi 3298 kasus (Ditjen PPM &PL Depkes RI) .
3. Faktor
Lingkungan (Environment)
Lingkungan
biologis, sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan penyebaran
HIV/AIDS. Lingkungan biologis antara lain adanya luka-luka pada alat genitalia,
herpes simplex dan syphilis meningkatkan prevalensi penularan HIV/AIDS.
Demikian juga dengan penggunaan obat KB pada kelompok wanita tuna susila di
Nairobi, dapat meningkatkan penularan HIV/AIDS. Faktor sosial, ekonomi, budaya
dan agama sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual masyarakat. Bila
faktorfaktor ini mendukung pada perilaku seksual yang bebas akan meningkatkan
penularan HIV/AIDS dalam masyarakat.
Masa
Inkubasi HIV/AIDS
Masa
inkubasi pada penderita AIDS, berjalan selama 2 tahun dan akan meninggal
setelah organ-organ vital tidak berfungsi. Selama waktu itu pula ia dapat
merupakan sumber penularan pasif terbuka (mudah terjangkit virus HIV/AIDS).
Sebaliknya pada masa inkubasi, dimana virus terus berkembang biak merusak
sistem kekebalan sampai gejala dapat memakan waktu 10 tahun, selama ini
penderita tetap merasa enak dan tampak sehat. Pada masa ini sumber penularan
aktif tersembunyi, namun berbahaya karena pengidap HIV ini masih mampu
melakukan kegiatan sosial apa saja dalam waktu lama termasuk donor darah,
hubungan seksual dan hamil. Semakin lama fase masa inkubasi dengan sendirinya
semakin banyak virus yang potensial pula sebagai sumber penularannya.
Di
dalam keadaan wajar virus HIV hanya bisa pindah atau menular lewat aliran
darah, limfa, jaringan lifoid dan dalam jumlah sedikit berada di cairan mani
serta cairan pada kelamin wanita dan tidak didapatkan dalam air ludah, air
seni, tinja dankeringat.
Secara lengkap, tahapan
dari sejak terinfeksi HIV hingga tahap AIDS meliputi:
1. Tahap
Jendela (Window Period)
Tahap jendela merupakan
masa ketika HIV sudah masuk ke dalam tubuh seseorang, tapi tubuh belum
membentuk antibodi. Akibatnya, ketika menjalani tes HIV, hasilnya negatif. Lama
periode jendela berkisar 0-6 bulan sejak terinfeksi HIV.
Meskipun hasil tes
masih negatif, namun jika seseorang sudah terinfeksi HIV, maka ia sudah dapat
menularkan ke orang lain.
2. Masa
HIV tidak bergejala (Asimptomatik)
Belum ada gejala apapun
secara fisik. Tubuh masih dapat bekerja secara normal.
3. Tahap
AIDS (Simptomatik)
Akibat kekebalan tubuh
sudah semakin berkurang, maka mulai muncul gejala-gejala penyakit ikutan
(oportunistik).
a. Tahap
awal: keringat berlebihan di malam hari, diare terus menerus, flu berkepanjangan
b. Tahap
stadium lanjut: radang paru-paru, kanker kulit, infeksi otak, dan gejala
penyakit oportunistik lainnya.
Riwayat Alamiah HIV/AIDS
1. Tahap
Pre Patogenesis
Tahap
pre patogenesis tidak terjadi pada penyakit HIV AIDS. Hal ini karena penularan
penyakit HIV terjadi secara langsung (kontak langsung dengan penderita). HIV
dapat menular dari suatu satu manusia ke manusia lainnya melalui kontak cairan
pada alat reproduksi, kontak darah (misalnya trafusi darah, kontak luka, dll),
penggunaan jarum suntik secara bergantian dan kehamilan.
2. Tahap
Patogenesis
Pada
fase ini virus akan menghancurkan sebagian besar atau keseluruhan sistem imun
penderita dan penderita dapat dinyatakan positif mengidap AIDS.
Dasar utama
patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T helper/induser yang
mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi
fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler,
terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat
antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV
mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas
bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA
agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang
biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi
irreversibel dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal
infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di infeksinya
tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun
akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4.
setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita
akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa
antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa
inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan
pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak
yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah
terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri, protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma
kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan
kerusakan neurologis.
Gejala
klinis pada orang dewasa ialah jika ditemukan dua dari tiga gejala utama dan
satu dari lima gejala minor. Gejala utamanya antara lain demam berkepanjangan,
penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu tiga bulan, dan diare
kronis selama lebih dari satu bulan secara berulang-ulang maupun terus menerus.
Gejala
minornya yaitu batuk kronis selama lebih dari 1 bulan, munculnya Herpes zoster
secara berulang-ulang, infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh
Candida albicans, bercak-bercak gatal di seluruh tubuh, serta pembengkakan
kelenjar getah bening secara menetap di seluruh tubuh. Akibat rusaknya sistem
kekebalan, penderita menjadi mudah terserang penyakit-penyakit yang disebut
penyakit oportunitis. Penyakit yang biasa menyerang orang normal seperti flu,
diare, gatal-gatal, dan lain-lain. Bisa menjadi penyakit yang mematikan di
tubuh seorang penderita AIDS.
3. Tahap
Inkubasi
Masa
inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai
dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan rata-rata cukup
lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita
tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa inkubasi ini penderita
disebut penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat
tedeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular
virus HIV.
Selama
masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada
orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat masa
inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala
sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini.
4. Tahap
Penyakit Dini
Penderita
mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat
mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang terkena
virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebalan tubuhnya
menurun/ lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu
cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani uji antibody HIV
terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang beresiko
terkena virus HIV.
5. Tahap
Penyakit Lanjut
Pada
tahap ini penderita sudah tidak bias melakukan aktivitas apa-apa. Penderita
mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk serta nyeri dada. Penderita
mengalami jamur pada rongga mulut dan kerongkongan. Terjadinya gangguan pada
persyarafan central mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah
berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat.
Pada
sistem persyarafan ujung (peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada
telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang selalu mengalami tensi darah
rendah dan impotent. Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes
simplex) atau cacar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang
menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi
jaringan rambut pada kulit (folliculities), kulit kering berbercak-bercak.
6. Tahap
Post Patogenesis (Tahap Penyakit Akhir)
Fase
ini merupakan fase terakhir dari perjalanan penyakit AIDS pada tubuh penderita.
Fase akhir dari penderita penyakit AIDS adalah meninggal dunia.
Patofisiologi
HIV/AIDS
Virus
HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Retrovirus
mempunyai kemamuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA
dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus lain, HIV
menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan
utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa
kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan
menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses
itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit.
Sel
B
Fungsi utam sel B
adalah sebagai imunitas antibodi humoral. Masing-masing sel B mampu mengenali
antigen spesifik dan mempunyai kemempuan untuk mensekresi antibodi spesifik.
Antibodi dikelompokkan menjadi 5 jenis yaitu IgG, IgM, IgE, IgD, IgA. Antibodi
adalah molekul khusus yang mengandung serum protein tinggi yang bekerja dengan
cara membungkus antigen dan membuat antigen lebih mudah untuk difagositosis
atau membungkus antigen dan memicu sistem komplemen (berhubungan dengan sistem
inflamasi)
Limfosit
T
Limfosit T atau Sel T
mempunyai 2 funsi utama, yaitu :
1. Regulasi
sistem imun
2. Membunuh
sel yang menghasilkan target khusus
Secara imunologis, sel
T yang terdiri atas T-helper ,
disebut limfosit CD4+, akan mengalami perubahan secara kuantitas maupun
kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secraa langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung sampul
HIV tyang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak langsung, lapisan luar protein
yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian
menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV
melekat melalui reseptor CD4+ dan Co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan
fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk kedalam sel membran.
Virus
HIV yang telah berhasi masuk kedalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai
macam sel, terutama manosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada
kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus dan Langerhans di kulit. Efek dari
infeksi sel mikroglia di otak adalah encepalopati
dan pada sel epitel usus adalah diare kronis ( Strewart, 1997).
Fagosit
Termasuk didalamnya
adalah monosit dan makrofag, sel darah putih dalam jumlah besar yang
mengelilingi dan mencerna sel yang membawa partikel-partikel antigen. Ditemukan
di seluruh tubuh, fagosit membersihkan tubuh dari sel yang rusak, memulai respn
imun dengan membawa APC pada limfosit, yang penting dalam regulasi dan
inflamasi respon imun, dan membawa reseptor untuk sitokin. Sel dendrit, tipe
lain dari fagosit juga merupakan APC. Neutrofil adalah fagosit granulosit yang
penting dalam respon inflamasi.
Komplemen
Sistem komplemen atas
25 protein. Komplemen mempunyai kemampuan untuk mengurangi respon inflamasi,
dan juga berfungsi dalam memfasilitasi fagositosis atau melemahkan membran sel
bakteri. Protein komplemen berinteraksi satu sama lain dalam tahapan aktivasi
sekuensial, membantu proses inflamasi. Meskipun demikian sistem imun mempunyai
kemampuan melawan berbagai macam predator, tetapi masih dapt dilawan oleh HIV.
Siklus Hidup HIV/AIDS
Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV
memiliki waktu hidup sangat pendek; hal ini berarti secara terus-menerus
menggunakan sel pejamu baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan
setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada
membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang
terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang-kadang ke
pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, dimana replikasi virus
ini menjadi semakin cepat. Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu
:
1. Masuk
dan mengikat
2. Reverse
Transkriptase
3. Replikasi
4.
Budding
5. Maturasi
Diagnosis
HIV/AIDS
Dasar
dalam menegakkan diagnosa AIDS adalah :
1. Adanya
HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium).
2. Adanya
tanda-tanda Immunodeficiency.
3. Adanya
gejala infeksi oportunistik.
Voluntary
Counseling and Testing (VCT), merupakan cara untuk
mengetahui status HIV seseorang melalui tes darah. Prosedur pelaksanaan tes
darah didahului dengan konseling sebelum dan sesudah tes (counseling), menjaga
kerahasiaan (confidensiality) serta adanya persetujuan tertulis ( informed
consent). Jika status HIV sudah diketahui, untuk ibu dengan status HIV positif
dilakukan intervensi agar ibu tidak menularkan kepada bayi yang di kandungnya.
Untuk HIV negatif, mereka juga mendapat konseling tentang bagaimana menjaga
perilakunya agar tetap berstatus HIV negatif. Layanan konseling dan tes HIV
tersebut dijalankan di layanan HIV-AIDS, layanan kesehatan Ibu dan Anak dan
layanan Keluarga Berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan dan kini juga
telah tersedia di Pusat Kesehatan Masyarakat ( Puskesmas).
Tes Skrining digunakan untuk
mendiagnosis HIV adalah Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA).
Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi
tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil
positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain penyakit autoimun, infeksi virus, atau
keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif. Tes yang lain biasanya digunakan mengonfirmasi hasil
ELISA, antara lain Western Blot (WB),
indirect immunofluoresence assay
(IFA) ataupun radio-immunoprecipitation
assay (RIPA)
Dalam
prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi oportunistik atau
sarkoma kaposi pada usia muda kemudian dilakukan uji serologis untuk mendeteksi
zat anti HIV (ELISA, Western Blot).
Data-Data
Mengenai HIV/AIDS
Statistik
Kasus HIV/AIDS di Indonesia
Dilapor
s/d September 2014
Sumber
: Ditjen PP & PL Kemenkes RI
Data HIV-AIDS Triwulan IV 2015 yang
disajikan adalah bersumber dari Sistem Informasi HIV-AIDS & IMS (SIHA).
Mulai periode pelaporan pelaporan Oktober-Desember 2015 terjadi perubahan dan
perkembangan data dalam laporan pasca Kegiatan Validasi dan Harmonisasi Data
bersama seluruh provinsi di Indonesia bulan November 2015. Hal ini dilakukan
dalam rangka peningkatan kualitas laporan. Laporan perkembangan HIV-AIDS di
Indonesia Triwulan IV Tahun 2015 sebagai berikut:
Situasi
Masalah HIV-AIDS Triwulan IV (Januari-Desember) Tahun 2015:
1. HIV
a. Dari
bulan Oktober sampai dengan Desember 2015 jumlah infeksi HIV yang baru
dilaporkan sebanyak 6.144 kasus.
b. Persentase
infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69%), diikuti
kelompok umur 20-24 tahun (17%), dan kelompok umur >= 50 tahun (7%).
c. Rasio
HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
d. Persentase
faktor risiko HIV tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual
(47%), LSL (Lelaki Seks Lelaki) (22%), lain-lain (28%) dan penggunaan jarum
suntik tidak steril pada penasun (3%).
2. AIDS
a. Dari
bulan Oktober sampai dengan Desember 2015 jumlah AIDS yang dilaporkan baru
sebanyak 2,954 orang.
b. Persentase
AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (37,3%), diikuti kelompok umur
20-29 tahun (27.9%) dan kelompok umur 40-49 tahun (18,8%).
c. Rasio
AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
d. Persentase
faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual
(80,3%), LSL (Lelaki Seks Lelaki) (8%), penggunaan jarum suntik tidak steril
pada penasun (2.6%), dan dari ibu positif HIV ke anak (4.6%).
e. Angka
kematian (CFR) AIDS menurun dari 1,62% pada tahun 2014 menjadi 0,95% pada bulan
Desember tahun 2015
Jumlah
HIV & AIDS yang dilaporkan 1 Januari s.d 31 Desember 2015 adalah :
HIV = 30.935
AIDS = 6..081
Secara
kumulatif HIV & AIDS 1 April 1987 s.d 31 Desember 2015
adalah
:
Total HIV = 191,073
Total AIDS = 77.112
Kematian = 13,247
Upaya
Pencegahan dan Program Pengendalian HIV/AIDS?
Jenis Pencegahan
1. Pencegahan
Primer
Pencegahan primer
adalah upaya memodifikasi faktor risiko atau mencegah berkembangnya faktor
risiko, sebelum dimulainya perubahan patologis, dilakukan pada tahap suseptibel
dan induksi penyakit, dengan tujuan mencegah atau menunda terjadinya kasus baru
penyakit (AHA Task Force, 1998). Terma yang berkaitan dengan pencegahan primer
adalah pencegahan primordial pencegahan primordial adalah strategi pencegahan
penyakit dengan
menciptakan lingkungan
yang dapat mengeliminasi faktor risiko, sehingga tidak diperlukan
intervensi
preventif lainnya (Wallace, 2007). Dalam kasus HIV/AIDS dapat dilakukan promsi
penggunaan kondom untuk seks aman, promosi untuk menghindari seks bebas, dan
sebagainnya.
2. Pencegahan
sekunder
Pencegahan sekunder
merupakan upaya pencegahan pada fase penyakit asimtomatis, tepatnya pada tahap
preklinis, terhadap timbulnya gejala-gejala penyakit secara klinis melalui
deteksi dini (early detection). Adapun tujuan pada pencegahan
sekunder yaitu diagnosis dini dan pengobatan yang tepat. Pada kasus HIV/AIDS
Beberapa usaha deteksi dini di antaranya :
a.
Mencari penderita di dalam masyarakat dengan jalan
pemeriksaan : misalnya pemeriksaan darah, urine dan pemeriksaan ELISA dan
WESTERN BLOT untuk yang beresiko tinggi, dan sebagainya serta segera memberikan
pengobatan
b. Mencari
semua orang yang telah berhubungan dengan penderita penyakit yang telah
berhubungan dengan penderita penyakit HIV/AIDS (contact person) untuk diawasi
agar derita penyakitnya timbul dapat segera diberikan pengobatan dan
tindakan-tindakan lain yang perlu misalnya isolasi, desinfeksi dan sebagainya.
c.
Pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar mereka
dapat mengenal gejala penyakit pada tingkat awal dan segera mencari pengobatan.
Masyarakat perlu menyadari bahwa berhasil atau tindaknya usaha pengobatan,
tidak hanya tergantung pada baiknya jenis obat serta keahlian tenaga
kesehatannya, melainkan juga tergantung pada kapan pengobatan itu diberikan.
3.
Pencegahan Tersier
Dalam kasus HIV/AIDS
dapat dilakukan pemulihan kesehatan (Rehabilitation), dengan cara :
a. Mengembangkan
lembaga – lembaga rehablitasi HIV/AIDS dengan mengikut sertakan masyarakat.
b. Menyadarkan
masyarakat untuk menerima mereka kembali dengan memberi dukungan moral,
setidaknya bagi yang bersangkutan untuk bertahan.
c. Mengusahakan
perkampungan rehabilitasi sosial sehingga setiap penderita yang telah cacat
mampu mempertahankan diri.
d. Penyuluhan
dan usaha – usaha kelanjutannya harus tetap dilakukan seseorang setelah ia
sembuh dari suatu penyakit.
Tahun 2006 berdasarkan Peraturan
Presiden RI Nomor 75 Tahun 2006 telah dibentuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang lebih
intensif, menyeluruh, terpadu dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional bertugas:
a. Menetapkan
kebijakan dan rencana strategis serta pedoman umum pencegahan, pengendalian dan
penanggulangan AIDS;
b. Menetapkan
langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan;
c. Mengkoordinasikan
pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan, pelayanan, pemantauan, pengendalian
dan penanggulangan AIDS;
d. Melakukan
penyebarluasan informasi mengenai AIDS kepada berbagai media massa, dalam
kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan keresahan
masyarakat;
e. Melakukan
kerja sama regional dan internasional dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan AIDS;
f. Mengkoordinasikan
pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan masalah AIDS;
g. Mengendalikan,
memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan, pengendalian dan
penanggulangan AIDS;
h. Memberikan
arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam
rangka pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS.
Upaya
Yang Telah Dilakukan Pemerintah Kabupaten Jember Terhadap Dampak dan Tindak
Pencegahan Penyakit Menular Hiv/Aids Di Kabupaten Jember
1.
Strategi
Promotif : Pendidikan HIV/AIDS Kepada Masyarakat dan Populasi Kunci.
Upaya promotif lebih
berfokus pada suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan
yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat
promosi kesehatan. Upaya ini dilaksanakan sebagai salah satu bentuk pencegahan sejak dini dengan memberikan pengetahuan tentang penyebaran, pencegahan, dan dampak dari HIV/AIDS kepada
masyarakat khususnya populasi kunci. Harapan yang ingin dicapai dari pendidikan HIV/AIDS ini adalah perubahan pola hidup yang tidak sehat di
dalam masyarakat. Sosialisasi HIV/AIDS ke masyarakat umum baik melalui baliho
maupun leaflet yang disediakan di layanan-layanan kesehatan dan melakukan
kerjasama dengan seluruh masyarakat dapat meningkatkan kelompok-kelompok
masyarakat peduli AIDS. Kasus HIV/AIDS selain ditemukan pada populasi kunci, saat ini sudah mengarah
kepada kelompok umum yakni Anak Sekolah/Mahasiswa dan Ibu Rumah Tangga.
Pada tahun 2012 melalui
tema HAS yakni “ Lindungi Perempuan
dan Anak dari HIV dan AIDS”
dilaksanakan sosialisasi di sekolah-sekolah maupun di Universitas dengan
mengusung slogan ABAT “Aku Bangga Aku Tahu”
dan juga sosialisasi kepada kelompok ibu rumah tangga dengan melaksanakan
seminar yang diprakarsai oleh KPA, yakni dengan mengundang perwakilan PKK dari
setiap kecamatan dan desa yang ada di Kabupaten Jember.
2. Strategi Preventif : Tindakan
Pencegahan Penularan dan Peyediaan Layanan Tes HIV
Upaya preventif adalah
suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. Dalam
rangka mencegah berkembangnya penyebaran HIV/AIDS yang merupakan ancaman serius
bagi kehidupan manusia perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangan secara
terpadu, efektif, dan efisien. Dalam upaya pencegahan sejak dini penularan HIV/AIDS terhadap masyarakat
terutama kelompok umur produktif baik yang tidak beresiko maupun beresiko,
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember mengenalkan metode ABCDE agar lebih mudah
dipahami oleh masyarakat.
metode ABCDE Metode ini diharapkan
dapat merubah pola atau perilaku hidup
masyarakat menjadi lebih sehat. ABCDE sendiri merupakan anjuran atau peringatan
untuk menjauhi hal-hal atau kegiatan yang beresiko dalam penularan HIV/AIDS. Adapun slogan ABCDE
sebagai berikut :
A = Abstinancy, absen untuk berhubungan seks
yang berisiko bila diketahui pasangan memiliki potensi penyakit menular
seksual.
B
= Be Faithful , salah satu seks sehat adalah denganbe faithful atau setia.
C
= Condom , jika hubungan seks yang dilakukan akan berisiko menuai penyakit,
maka sebaiknya menggunakan kondom.
D
= Drugs , menjauhi obat-obatan terlarang karena baik yang diminum atau disuntik
dapat berpotensi menyebabkan HIV. Obat-obatan tersebut jika ditelan seperti
ekstasi dapat menyebabkan gairah seks meningkat, hilang sadar dan akal sehat,
sehingga seks yang dilakukan cenderung tidak aman. Demikian juga pemakaian suntik, jarum suntik yang
tidak steril dapat meningkatkan risiko penularan virus HIV.
E
= Equipment ,equipment yang dimaksud merupakan perlengkapan secara umum. Tidak
dianjurkan untuk menggunakan peralatan
yang beresiko seperti jarum suntik yang tidak steril baik pada penasun atau
pemakaian tato, hal ini dikarenakan penularan
virus HIV dapat melalui darah.
a. KPA
dibantu oleh LSM melakukan penjangkauan
populasi beresiko (WPS, Waria, LSL, dan Pelanggan) yang diharapkan terjadi
perubahan perilaku melalui peningkatan pengetahuan dan mengikuti pelayanan
kesehatan yang telah disediakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jember.
b. KPA
Kabupaten Jember membentuk outlet-outlet kondom di beberapa lokasi. Penyediaan outlte-outlet
kondom baik kondom laki-laki, perempuan,
dan lubrikan didistribusikan oleh KPA Kabupaten Jember yang bersumber dari
Global Fund dan Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Adanya outlet kondom tersebut diharapkan mampu mengurangi resiko penularan HIV
pada hubungan beresiko.
c. KPA
Kabupaten Jember juga menyediakan Layanan Alat Suntik Steril (LASS). Hal ini
merupakan upaya pengurangan dampak buruk
kepada Penasun ( Harm Reduction).
d. Dinas
Kesehatan Kabupaten Jember memiliki program yaitu PMTCT ( Prevention of
Mother-to-Child Transmission), dimana setiap ibu hamil diupayakan untuk
mengikuti konseling dan tes HIV.
3.
Strategi
Kuratif : Fasilitas Pengobatan HIV/AIDS Bagi ODHA
Upaya kuratif adalah
suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk
penyembuhan penyakit, pengendalian
penyakit, atau pengendalian agar
kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
Pemberian ARV Kombinasi yang tepat antara berbagai
obat-obatan antiretroviral (ARV) dapat memperlambat kerusakan yang diakibatkan
oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda awal terjadinya AIDS.
Pengobatan dan perawatan yang ada
terdiri dari sejumlah unsur yang berbeda, yang meliputi konseling dan tes
mandiri (VCT), dukungan bagi pencegahan penularan HIV, konseling tidak lanjut,
saran-saran mengenai makanan dan gizi, pengobatan IMS, pengelolaan efek
nutrisi, pencegahan dan perawatan infeksi oportunistik (IO), dan pemberian ARV.
4.
Strategi
Rehabilitatif : Mitigasi Dampak HIV/AIDS
Pelayanan kesehatan
rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
bekas penderita ke dalam masyarakat
sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk
dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Dinas Pendidikan
Kabupaten Jember tetap memberi kesempatan untuk melanjutkan sekolah tanpa
adanya diskriminasi. Sedangkan untuk anak atau
balita yang orang tuanya ODHA atau yatim/piatu mendapat bantuan berupa
susu untuk tetap mendapatkan gizi dan nutrisi yang baik. Selain itu, terdapat
dukungan sosial berbasis keluarga untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA dan
keluarganya yang dilakukan di Klinik Care Support and Treatment (CST) dengan dibentuknya Kelompok Dukungan
Sebaya (KDS) untuk saling memberikan dukungan antar ODHA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar