IMUNOLOGI
KULIT DAN MATA
Imunologi
Kulit
Kulit didesain dengan spesifikasi klinis
sedemikian rupa sehingga mampu melindungi manusia dari luka atau infeksi, serta
beberapa faktor imunologik, di antaranya sitokin TNF-α ,sebuah sinyal bahaya yang dikeluarkan oleh
jaringan-jaringan yang sedang mengalami luka kepada sistem imunologi. Pelepasan
TNF-α dari sel-sel yang terdestruksi pada luka
nantinya akan memanggil sitokin-sitokin dan kemokin lainnya sehingga
memodifikasi permukaan endotel pada venula-venula pasca kapiler. Proses
ini merupakan mekanisme alamiah yang memfasilitasi ekstravasasi leukosit ke
jaringan yang sedang luka (Farid, 2006).
Leukosit yang keluar dari pembuluh darah nantinya
akan merembes memasuki dermis melalui beberapa proses yang melibatkan beberapa
molekul, di antaranya LFA-1 (terkandung dalam contoh obat di atas, efalizumab).
Leukosit yang memasuki dermis melalui gradient kemotaktik akan mulai memediasi
fungsi efektor, misalnya untuk membunuh bakteri atau jamur.Selama perjalanannya
leukosit yang menuju jaringan luka ini juga akan mengeluarkan TNF-α kesirkulasi. Dengan demikian semakin lama akan
semakin banyak leukosit yang terpanggil ketempat luka. Inilah proses
imunosurveilans yang melibatkan jaringan luka dan sel-sel imunitas (Farid,
2006).
Pada kulit, ada
beberapa mekanisme dasar perlindungan dari invasi luar yang membahayakan,
antara lain:
1. Susunan stratum korneum yang sangat
rapat
Kulit senantiasa berjalan
terus-menerus dengan siklus yang tetap (kecuali pada psoriasis) setiap 28 hari
sekali. Proses ini disebut sebagai deskuamasi. Deskuamasi adalah proses
terlepasnya stratum korneum yang telah mati dan akan digantikan dengan kulit
yang baru. Proses ini dimaksudkan untuk membuang mikroorganisme patogen yang
biasa menempel pada kulit (stratum korneum), dikenal pula dengan nama
keratinisasi.
2. Sel Langerhans yang terdapat di
lapisan epidermis
Sel ini bekerja mirip dengan
makrofag (memproses antigen sebelum disajikan ke limfosit / APC). Sel
langerhans memiliki beberapa mediator yang dihasilkan dalam memproses antigen
yaitu: sitokin (IL 1 dan IL 6), kemokin (IL8), dan lipid (prostaglandin A2,
leukotrien, dan platelet activating factor.
3. Reaksi inflamasi jika sudah menembus
ke daerah dermis (daerah dengan pembuluh darah).
Inflamasi terjadi jika sel
langerhans dan keratinisasi gagal dalam menghadapi mikroorganisme patogen,
sehingga akan datang bantuan dari mediator inflamasi seperti netrofil,
limfosit, komplemen, PMN, dan aktivasi faktor penghambat serum (serum
inhibitory factor) yang disebut proliferasi epidermis. Secara
umum, sebenarnya inflamasi itu adalah reaksi lokal yang diakibatkan oleh luka
pada kulit sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang dipertahankan oleh kulit.
Komponen-komponen
Sistem Imun pada kulit antara lain :
1. Epidermis : Keratinosit → IL-1, IL-6, IL-10,
TGF-β, TNF-α
Melanosit → Pigmen
Sel Langerhans/sel Dendrik → APC
Sel T → CD-8
2. Dermis : Sel T → CD-4 dan CD-8
Makrofag
· Reaksi
imun di kulit
a. Hipersensitivitas
Cepat
i.
DitimbulkanIgE,
dapat menimbulkan anafilaksis, penyebab obat atau serangga.
ii.
IgE
ditemukan pada permukaan SL/SD pasien dermatitis atopi.
iii.
Diduga
ikatan Fc-R pd SL dengan IgE dapat mencetuskan inflamasi exim.
b.
Urtikaria,
jelatang, sering disebut sebagai gatal-gatal,
adalah jenis ruam kulit penting untuk pucat merah, mengangkat,
gatal benjolan. Hives mungkin juga menyebabkan rasa
terbakar atau menyengat, Hives sering disebabkan oleh
reaksi alergi. Namun, ada banyak penyebab alergi. Sebagian besar
kasus gatal-gatal yang berlangsung
kurang dari
enam minggu(urtikaria
akut) adalah hasil dari pemicu alergi.
Penyakit IgE kulit dibagi menjadi 2 : ada yang akut dan kronis. Urtikaria kronis(gatal-gatal
yang berlangsung lebih darienam minggu) jarang karena alergi.
Urtikaria kronik ditemukan 5-20%. Urtikaria terjadi melalui IgE, aktivasi
komplemen dan imunologik. Semua urtikaria memiliki gambaran yang sama diduga
karena degranulasi sel mast. Mayoritas kasus gatal-gatal kronis memiliki diketahui
(idiopathic) penyebab. Dalam
mungkin sebanyak 30 sampai 40%
pasien dengan urtikaria idiopatik kronis, hal itu
disebabkan oleh
reaksi autoimun.
Infeksi virus akut adalah penyebab umum
lain dari urtikaria akut (viral
exanthem). Kurang penyebab umum gatal-gatal termasuk gesekan,tekanan,
suhu ekstrim, olahraga, dan sinar
matahari.
c.
Reaksi sitotoksik terjadi karena
reaksi antibody dalam sirkulasi yang melibatkan komplemen.
Reaksi sitotoksik merupakan bagian dari sistim perlindungan tubuh untuk
memusnahkan sel-sel yang terinfeksi oleh mikroorganisme atau mengandung zat
yang merugikan tubuh. Reaksi ini ditandai dengan rusaknya sel target setelah
antibodi yang berikatan dengan antigen di permukaan sel mengaktifkan sistim
komplemen atau zat aktif lainnya. Meskipun tujuannya untuk melindungi tubuh,
mekanisme ini bisa menjadi masalah pada pemberian transfusi darah dan
transplantasi, serta beberapa penyakit auto-imun.
d.
Hipersensitivitas
Tipe Lambat adalah berbagai mekanisme utama pertahanan terhadap patogen
intraseluler , termasuk mikobakteri, jamur, dan parasit tertentu, dan itu
terjadi dalam penolakan transplantasi dan kekebalan tumor.
Peran sentral CD4 + sel T di hipersensitivitas
Tipe Lambat diilustrasikan pada pasien dengan AIDS. Karena hilangnya CD4 + sel,
respon host terhadap patogen intraseluler seperti Mycobacterium tuberculosis
yang nyata terganggu. Bakteri ini ditelan oleh makrofag tetapi tidak dibunuh.
Jika T-sel fungsi tidak normal, keadaan pasien dengan infeksi oportunistik,
termasuk infeksi mikobakteri, jamur, parasit, dan, seringkali, kandidiasis
mukokutan.
Konsekuensi yang tidak diinginkan
dari jenis (DTH) reaksi hipersensitivitas tipe lambat termasuk penyakit seperti
dermatitis kontak dan penolakan allograft. Contoh reaksi DTH adalah dermatitis
kontak (misalnya, poison ivy ruam), reaksi kulit uji tuberkulin, peradangan
granulomatosa (sarcoidosis, penyakit Crohn), penolakan allograft, penyakit
graft versus host, dan reaksi hipersensitivitas autoimun. Dari catatan, genus
Rhus tanaman, yang meliputi keracunan ivy, keracunan oak, dan sumac racun,
dan semua penyebab ruam yang identik.
e.
Reaksi
Arthus
Di dalam reaksi arthus terdapat Purpura yang merupakan
gejala klinis dari alergi.
Pemeriksa biopsi menunjukkan endapan IgG, IgM, komplemen, dan fibrinogen di dinding pembuluh darah. Diduga
ditimbulkan seperti virus hepatitis, streptokok, intoleransi obat, atau
autoimun pada lupus.
f.
Penyakit
Autoimun yang menimbulkan Lepuh merupakan Reaksi Tipe
II dasar terjadinya penyakit Lepuh. Autoantibodi dan komplement ditemukan di berbagai permukaan
kulit. Autoantibodi adalah IgG.
g.
Penyakit
Autoimun Organ Spesifik.
Pigmen
hilang sebagai akibat adanya
antibodi terhadap melanosit
di kulit. Biasanya ditemukan penyakit autoimun lain seperti anemia pernisiosa.
Contoh: Vitiligo.
h.
Sklerosis
sistemik (Skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui
penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ visceral serta kelainan
mikrovaskuler. Penyakit ini berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear
spesifik, terutama anti-sentromer dan anti sklero-70 (anti-Scl-70). Spektrum
penyakit ini cukup luas, mulai dari kelainan yang disertai penebalan kulit yang
luas dan berat, atau hanya penebalan kulit pada ekstremitas distal dan muka
atau tanpa kelainan kulit sama sekali. Menimbulkan kelainan pada paru dan
ginjal.
i.
Dermatosiasis
Ditandai
dengan perubahan warna kulit menjadi ungu di punggung, tangan dan kelopak mata,
kadang di pipi dan di dahi. Ditemukan suatu kelemahan otot disertai dengan
infiltrasi sel inflamasi.
j.
Sklerosis
Lichen
Menunjukkan
artrofi superfisial epidemis dengan warna putih. Selanjutnya fibrosis terjadi
di jaringan sebelah bawah. Dan sering terjadi di vulva dan perinium ,penis
sebagai xerotica abliterans.
Ekstra genital dapat terjadi di mana saja dan disertai dengan peningkatan
karsinoma sel skuomosa.
k.
Graft
Versus Host Disease.
Terjadi setelah dilakukan transplantasi sumsum tulang pada
pasien imunokompromais. Sel T dalam transplant bereaksi dengan jaringan tubuh
dan menimbulkan erupsi berupa campak. Lisis terjadi di membran basal yang
melepas kulit dan kadang terjadi erupsi seperti lichen planus. Dalam bentuk
yang lebih kronik, immunoglobulin diendapkan di dinding vaskuler yang
mengaktifkan komplemen.
l.
Penyakit kompleks imun
Kulit sering merupakan manifestasi penyakit yang
disertai kompleks imun dalam sirkulasi. Perbedaan sindrom diduga disebabkan
perbedaan besar dalam kompleks, kelas antibodi, tempat terjadinya endapan dan
kondisi local seperti pembuluh darah dan inflamasi.
Imunologi
Mata
Respon imun pada mata
dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu respon imun humoral dan selular.
Respon imun humoral terutama terjadi melalui IgE dan sel mast yang mengawali
reaksi alergi. Kadar IgG tinggi dalam darah dapat berperan dalam penyakit
autoimun yang mengenai mata. Sedangkan respon imun selular melibatkan sel T.
respon imun yang efektif terhadap antigen benda asing membutuhkan sel efektor
dalam suatu aturan lintasan melalui jaringan, meskipun beberapa faktor yang
dapat larut (seperti sitokin) berperan penting terhadap aktivasi sel-sel imun,
leukosit masih diperlukan sebagai tanda untuk lalu lintas efektif.
Sistem imun pada mata:
1.
Konjungtiva
-
Penuh dengan sel langerhans, sel
dendritik, makrofag
-
Imunitas humoral melibatkan IgA
-
Imunitas selular didominasi CD4+
sel T
-
Mempunyai pembuluh limfatik yang menjadi
lintasan sel-sel imun dan antigen menuju aliran kelenjar limf
-
Ditemukan sel mast
-
Dilibatkan primer dalam
hipersensitivitas cepat dan alergi
-
Memiliki drainase limfatik
2.
Uvea
-
Terlibat primer dalam hipersensitivitas
selular dan penyakit kompleks imun
3.
Kornea avaskular
-
Tidak terdapat sel mast
-
Disokong oleh sel langerhans
-
Berpartisipasi dalam reaksi imun melalui
jalur humoral
4.
COA, uvea anterior, dan vitreus
-
Aquos humor : sitokin imunomodulator,
neuropeptida dan inhibitor komplemen
-
Iris dan korpus siliaris mengandung
banyak APC
5.
RPE, retina, dan koroid
-
RPE terinduksi untuk mengekspresikan
MHC-II
-
RPE bisa berinteraksi dengan sel T
-
Densitas sel mast sedang pada koroid
-
Densitas tinggi dari sel T, sel B,
makrofag, PMN bisa menginfiltrasi koroid, kariokapiler dan retina
-
Proses imun local tidak tampak terjadi
6. Lapisan
Air Mata
-
Lapisan mukus : glicocalys
-
Lapisan akuos : faktor-faktor terlarut
seperti laktoferin, lisozim dan Beta lisin. Pada lapisan akuos, banyak IgA yang
berfungsi mengikat mikroba, opsonisasi, aktivasi enzim dan toksin bakteri,
efektor
Konjungtivitis Alergi
A.
Definisi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi
pada mata yang paing sering dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada
konjungtiva yang diperantarai oleh Universitas Sumatera Utara sistem imun
(Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat
pada alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar,
2010).
B.
Etiologi dan Faktor Resiko
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu
konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang
biasanya dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal,
keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan, 2010).
Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai
dengan subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan
tumbuhtumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu hewan,
dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu tertentu.
Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema dan rinitis
alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan riwayat
dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna
lensakontak atau mata buatan dari plastik (Asokan, 2007).
C.
Gejala Klinis
Gejala klinis konjungtivitis alergi
berbeda-beda sesuai dengan subkategorinya. Pada konjungtivitis alergi musiman
dan alergi tumbuh-tumbuhan keluhan utama adalah gatal, kemerahan, air mata,
injeksi ringan konjungtiva, dan sering ditemukan kemosis berat. Pasien dengan
keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran
mata yang berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak papila halus di
konjungtiva tarsalis inferior. Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid,
merah, dan fotofobia merupakan keluhan yang paling sering pada
keratokonjungtivitis atopik. Ditemukan jupa tepian palpebra yang eritematosa
dan konjungtiva tampak putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan
menurun, sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan
gejala yang mirip konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).
D. Diagnosis
Diperlukan riwayat
alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta observasi pada gejala
klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi. Gejala yang paling
penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, yang
mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia (Weissman, 2010).
E. Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling
sering adalah ulkus pada kornea dan infeksi sekunder (Jatla, 2009). F.
Penatalaksanaan Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan
vasokonstriktor-antihistamin topikal dan kompres dingin untuk mengatasi
gatal-gatal dan steroid topikal jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya
(Vaughan, 2010).
Dermatitis
Kontak
Dermatitis
kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari suatu
zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak. Pertama,
dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis kontak
alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi
hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat). Karena DKI
bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah paparan,
batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang
cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan
bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi
penyebaran yang menyeluruh.
Dalam praktek klinis,
kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin sulit untuk membedakan. Banyak bahan kimia
dapat bertindak baik sebagai iritan maupun alergen. DKA adalah salah satu
masalah dermatologi yang cukup sering, menjengkelkan, dan menghabiskan biaya.
Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis kontak akibat kerja (Occupational
Contact Dermatitis) adalah iritan dan 20% alergi.
1.
Dermatitis Kontak iritan
Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik
lokal langsung dari bahan iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak
spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam
waktu dan konsentrasi yang cukup (Health and Safety Executive, 2004).
golongan umur, ras dan
jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang
berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja).
Gejala
klinis dermatitis iritan dibedakan atas dermatitis kontak iritan akut dan
dermatitis iritan kronik.
§ Dermatitis
kontak iritan akut
Reaksi ini bisa
beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga keadaan yang tidak lebih daripada
sedikit dehidrasi (kering) dan kemerahan. Kekuatan reaksi tergantung dari
kerentanan individunya dan pada konsentrasi serta ciri kimiawi kontaktan,
adanya oklusi dan lamanya serta frekuensi kontak (Fregret, 1998). Satu kali
kontak yang pendek dengan suatu bahan kimiawi kadang-kadang sudah cukup untuk
mencetuskan reaksi iritan.
§ Dermatitis
kontak iritan kronis
DKI kronis disebabkan
oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang-ulang, dan mungkin bisa terjadi
oleh karena kerjasama berbagai macam faktor.
Gejala klasik berupa
kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi
likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung maka
dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura. Adakalanya kelainan hanya
berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh
penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian
(Djuanda, 2003).
2. Dermatitis
Kontak Alergi
Dermatitis kontak
alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe
lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat
mengaktivasi reaksi alergi (National Occupational Health and Safety Commision,
2006).
Penderita pada
umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis.
Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.
Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin
penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003).
Penyebab Dermatitis Kontak
1.
Dermatitis Kontak iritan
Penyebab
munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut,
deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim,
minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia
higroskopik.
Kelainan kulit yang
muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu
sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita (Strait, 2001;
Djuanda, 2003).
Iritan adalah substansi
yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit
dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang
sufisien.
Masing-masing individu
memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang
rendah dari iritan menurunkan dan secara bertahap mencegah kecenderungan untuk
menginduksi dermatitis.
Fungsi pertahanan dari
kulit akan rusak baik dengan peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan
kelembaban tinggi, bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi
(suhu dan kelembaban rendah). Efek dari iritan merupakan
concentration-dependent, sehingga hanya mengenai tempat primer kontak
(Safeguards, 2000).
Pada orang dewasa, DKI
sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan, misalnya
bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang
terjadi selain ditentukan oleh : ukuran molekul, daya larut, konsentrasi,
vehikulum, suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain: lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau
berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, gesekan dan trauma
fisis, suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998).
Faktor lingkungan juga
berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan ketebalan kulit
di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak dibawah umur
8 tahun lebih muda teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit
putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak alergi lebih tinggi pada
wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang
terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik (Beltrani et al.,
2006).
Sistem imun tubuh juga
berpengaruh pada terjadinya dermatitis ini. Pada orang-orang yang
immunocompromised, baik yang diakibatkan oleh penyakit yang sedang diderita,
penggunaan obat-obatan, maupun karena kemoterapi, akan lebih mudah untuk
mengalami dermatitis kontak (Hogan, 2009).
· Patogenesis
Kelainan kulit timbul
akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi
atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak
bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat
menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti
(Streit, 2001).
Kerusakan membran
mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida
(DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi
prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen
dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan
neutrofil, serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan
PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani et al., 2006; Djuanda,
2003).
DAG dan second
messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya
interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor
(GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi
reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan HLADR dan adesi intrasel
(ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-α, suatu
sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit,
menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani et al.,
2006).
Rentetan kejadian
tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di
kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu:
iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada
pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan gejala berupa eritema,
edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya pada mereka yang paling
rawan atau mengalami kontak berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum
korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi
sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor
kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai
andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2003).
2. Dermatitis
Kontak Alergi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut
bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi
sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda,
2003).
Penyebab utama kontak
alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen
dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron,
misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung
urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols.
Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat
(semen, pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat
rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan
parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
·
Patogenesis
Mekanisme terjadinya
kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti respons imun yang
diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi hipersensitivitas
tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed
hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen.
Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase,
yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi (Trihapsoro, 2003).
1.
Fase
sensitisasi
Sebelum seorang pertama
kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan
spesifik reaktivitas pada kulitnya (Djuanda, 2003). Perubahan ini terjadi karena adanya kontak
dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten (alergen yang memilik berat
molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh jika terikat dengan
protein untuk membentuk antigen lengkap). Antigen ini kemudian berpenetrasi ke
epidermis dan ditangkap dan diproses oleh antigen presenting cells (APC), yaitu
makrofag, dendrosit, dan sel langerhans (Hogan, 2009; Crowe, 2009).
Selanjutnya antigen ini
dipresentasikan oleh APC ke sel T. Setelah kontak dengan antigen yang telah
diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk
berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi
secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi
ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan
sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase ini rata-rata berlangsung
selama 2-3 minggu (Djuanda, 2003).
2. Fase elisitasi atau fase eferen
Terjadi apabila timbul pajanan kedua
dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di
dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan
merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF
(interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi
ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan
limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan
sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan
permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit
seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.
Proses peredaan atau
penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi,
degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans dan sel
keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag
akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2 dan sel T
serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil
juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam
paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang
bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T
terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan
(Trihapsoro, 2003).
Pengobatan
Dermatitis Kontak
1.
Dermatitis Kontak iritan
Upaya pengobatan DKI
yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat
mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila
dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan
topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering (Djuanda,
2003).
Apabila diperlukan
untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian
alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan
iritan sebagai upaya pencegahan (Djuanda, 2003; Kampf, 2007).
2. Dermatitis
Kontak Alergi
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan
kelainan kulit yang timbul (Brown University Health Services, 2003; Djuanda,
2003; Health and Safety Executive, 2009).
Kortikosteoroid dapat
diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada dermatitis kontak
alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau vesikel, serta
eksudatif. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan
kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal. Untuk dermatitis kontak
alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah mereda (setelah mendapat
pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal
(Djuanda, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Kumar, Vinay. Cotran, Ramzi S. Robbins,
Stanley S. 2007. Buku ajar patologi.
7th ed. Jakarta :
EGC
Tersinanda, Yuliharti dkk.Dermatitis Alergi.Universitas Udayana.
[diakses 22 April 2015]
Amra, Aryani Atiyatul.2007.Ocular Immune Responses.Universitas
Sumatera Utara. [diakses 22 April 2015]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar