Minggu, 07 Agustus 2016

IMUNOLOGI



IMUNOLOGI KULIT DAN MATA

Imunologi Kulit
Kulit didesain dengan spesifikasi klinis sedemikian rupa sehingga mampu melindungi manusia dari luka atau infeksi, serta beberapa faktor imunologik, di antaranya sitokin TNF-α ,sebuah sinyal bahaya yang dikeluarkan oleh jaringan-jaringan yang sedang mengalami luka kepada sistem imunologi. Pelepasan TNF-α dari sel-sel yang terdestruksi pada luka nantinya akan memanggil sitokin-sitokin dan kemokin lainnya sehingga memodifikasi permukaan endotel pada venula-venula pasca kapiler. Proses ini merupakan mekanisme alamiah yang memfasilitasi ekstravasasi leukosit ke jaringan yang sedang luka (Farid, 2006).
Leukosit yang keluar dari pembuluh darah nantinya akan merembes memasuki dermis melalui beberapa proses yang melibatkan beberapa molekul, di antaranya LFA-1 (terkandung dalam contoh obat di atas, efalizumab). Leukosit yang memasuki dermis melalui gradient kemotaktik akan mulai memediasi fungsi efektor, misalnya untuk membunuh bakteri atau jamur.Selama perjalanannya leukosit yang menuju jaringan luka ini juga akan mengeluarkan TNF-α kesirkulasi. Dengan demikian semakin lama akan semakin banyak leukosit yang terpanggil ketempat luka. Inilah proses imunosurveilans yang melibatkan jaringan luka dan sel-sel imunitas (Farid, 2006).
Pada kulit, ada beberapa mekanisme dasar perlindungan dari  invasi luar yang membahayakan, antara lain:
1.      Susunan stratum korneum yang sangat rapat
Kulit senantiasa berjalan terus-menerus dengan siklus yang tetap (kecuali pada psoriasis) setiap 28 hari sekali. Proses ini disebut sebagai deskuamasi. Deskuamasi adalah proses terlepasnya stratum korneum yang telah mati dan akan digantikan dengan kulit yang baru. Proses ini dimaksudkan untuk membuang mikroorganisme patogen yang biasa menempel pada kulit (stratum korneum), dikenal pula dengan nama keratinisasi.
2.      Sel Langerhans yang terdapat di lapisan epidermis
Sel ini bekerja mirip dengan makrofag (memproses antigen sebelum disajikan ke limfosit / APC). Sel langerhans memiliki beberapa mediator yang dihasilkan dalam memproses antigen yaitu: sitokin (IL 1 dan IL 6), kemokin (IL8), dan lipid (prostaglandin A2, leukotrien, dan platelet activating factor.
3.      Reaksi inflamasi jika sudah menembus ke daerah dermis (daerah dengan pembuluh darah).
Inflamasi terjadi jika sel langerhans dan keratinisasi gagal dalam menghadapi mikroorganisme patogen, sehingga akan datang bantuan dari mediator inflamasi seperti netrofil, limfosit, komplemen, PMN, dan aktivasi faktor penghambat serum (serum inhibitory factor) yang disebut proliferasi epidermis. Secara umum, sebenarnya inflamasi itu adalah reaksi lokal yang diakibatkan oleh luka pada kulit sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang dipertahankan oleh kulit.
Komponen-komponen Sistem Imun pada kulit antara lain :
1.      Epidermis        : Keratinosit → IL-1, IL-6, IL-10, TGF-β, TNF-α
                                      Melanosit → Pigmen
                                      Sel Langerhans/sel Dendrik → APC
                                      Sel T → CD-8
2.      Dermis : Sel T → CD-4 dan CD-8
                                      Makrofag

·      Reaksi imun di kulit
a.       Hipersensitivitas Cepat
                                i.            DitimbulkanIgE, dapat menimbulkan anafilaksis, penyebab obat atau serangga.
                              ii.            IgE ditemukan pada permukaan SL/SD pasien dermatitis atopi.
                            iii.            Diduga ikatan Fc-R pd SL dengan IgE dapat mencetuskan inflamasi exim.
b.      Urtikaria, jelatang, sering disebut sebagai gatal-gatal, adalah jenis ruam kulit penting untuk pucat merah, mengangkat, gatal benjolan. Hives mungkin juga menyebabkan rasa terbakar atau menyengat, Hives sering disebabkan oleh reaksi alergi. Namun, ada banyak penyebab alergi. Sebagian besar kasus gatal-gatal yang berlangsung kurang dari enam minggu(urtikaria akut) adalah hasil dari pemicu alergi. Penyakit IgE kulit dibagi menjadi 2 : ada yang akut dan kronis. Urtikaria kronis(gatal-gatal yang berlangsung lebih darienam minggu) jarang karena alergi. Urtikaria kronik ditemukan 5-20%. Urtikaria terjadi melalui IgE, aktivasi komplemen dan imunologik. Semua urtikaria memiliki gambaran yang sama diduga karena degranulasi sel mast. Mayoritas kasus gatal-gatal kronis memiliki diketahui (idiopathic) penyebab. Dalam mungkin sebanyak 30 sampai 40% pasien dengan urtikaria idiopatik kronis, hal itu disebabkan oleh reaksi autoimun. Infeksi virus akut adalah penyebab umum lain dari urtikaria akut (viral exanthem). Kurang penyebab umum gatal-gatal termasuk gesekan,tekanan, suhu ekstrim, olahraga, dan sinar matahari.
c.       Reaksi sitotoksik terjadi karena reaksi antibody dalam sirkulasi yang melibatkan komplemen.  Reaksi sitotoksik merupakan bagian dari sistim perlindungan tubuh untuk memusnahkan sel-sel yang terinfeksi oleh mikroorganisme atau mengandung zat yang merugikan tubuh. Reaksi ini ditandai dengan rusaknya sel target setelah antibodi yang berikatan dengan antigen di permukaan sel mengaktifkan sistim komplemen atau zat aktif lainnya. Meskipun tujuannya untuk melindungi tubuh, mekanisme ini bisa menjadi masalah pada pemberian transfusi darah dan transplantasi, serta beberapa penyakit auto-imun.
d.      Hipersensitivitas  Tipe Lambat adalah berbagai mekanisme utama pertahanan terhadap patogen intraseluler , termasuk mikobakteri, jamur, dan parasit tertentu, dan itu terjadi dalam penolakan transplantasi dan kekebalan tumor.
Peran sentral CD4 + sel T di hipersensitivitas Tipe Lambat diilustrasikan pada pasien dengan AIDS. Karena hilangnya CD4 + sel, respon host terhadap patogen intraseluler seperti Mycobacterium tuberculosis yang nyata terganggu. Bakteri ini ditelan oleh makrofag tetapi tidak dibunuh. Jika T-sel fungsi tidak normal, keadaan pasien dengan infeksi oportunistik, termasuk infeksi mikobakteri, jamur, parasit, dan, seringkali, kandidiasis mukokutan.
Konsekuensi yang tidak diinginkan dari jenis (DTH) reaksi hipersensitivitas tipe lambat termasuk penyakit seperti dermatitis kontak dan penolakan allograft. Contoh reaksi DTH adalah dermatitis kontak (misalnya, poison ivy ruam), reaksi kulit uji tuberkulin, peradangan granulomatosa (sarcoidosis, penyakit Crohn), penolakan allograft, penyakit graft versus host, dan reaksi hipersensitivitas autoimun. Dari catatan, genus Rhus tanaman, yang meliputi keracunan ivy, keracunan oak, dan sumac racun, dan semua penyebab ruam yang identik.
e.       Reaksi Arthus
Di dalam reaksi arthus terdapat Purpura yang merupakan gejala klinis dari alergi. Pemeriksa biopsi menunjukkan endapan IgG, IgM, komplemen, dan fibrinogen di dinding pembuluh darah. Diduga ditimbulkan seperti virus hepatitis, streptokok, intoleransi obat, atau autoimun pada lupus.
f.       Penyakit Autoimun yang menimbulkan Lepuh merupakan Reaksi Tipe II dasar terjadinya penyakit Lepuh. Autoantibodi dan komplement ditemukan di berbagai permukaan kulit. Autoantibodi adalah IgG.
g.      Penyakit Autoimun Organ Spesifik.
Pigmen hilang sebagai akibat adanya antibodi terhadap melanosit di kulit. Biasanya ditemukan penyakit autoimun lain seperti anemia pernisiosa. Contoh: Vitiligo.
h.      Sklerosis sistemik (Skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ visceral serta kelainan mikrovaskuler. Penyakit ini berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama anti-sentromer dan anti sklero-70 (anti-Scl-70). Spektrum penyakit ini cukup luas, mulai dari kelainan yang disertai penebalan kulit yang luas dan berat, atau hanya penebalan kulit pada ekstremitas distal dan muka atau tanpa kelainan kulit sama sekali. Menimbulkan kelainan pada paru dan ginjal.
i.        Dermatosiasis
Ditandai dengan perubahan warna kulit menjadi ungu di punggung, tangan dan kelopak mata, kadang di pipi dan di dahi. Ditemukan suatu kelemahan otot disertai dengan infiltrasi sel inflamasi.
j.        Sklerosis Lichen
Menunjukkan artrofi superfisial epidemis dengan warna putih. Selanjutnya fibrosis terjadi di jaringan sebelah bawah. Dan sering terjadi di vulva dan perinium ,penis sebagai xerotica abliterans. Ekstra genital dapat terjadi di mana saja dan disertai dengan peningkatan karsinoma sel skuomosa.
k.      Graft Versus Host Disease.
Terjadi setelah dilakukan transplantasi sumsum tulang pada pasien imunokompromais. Sel T dalam transplant bereaksi dengan jaringan tubuh dan menimbulkan erupsi berupa campak. Lisis terjadi di membran basal yang melepas kulit dan kadang terjadi erupsi seperti lichen planus. Dalam bentuk yang lebih kronik, immunoglobulin diendapkan di dinding vaskuler yang mengaktifkan komplemen.
l.        Penyakit kompleks imun
Kulit sering merupakan manifestasi penyakit yang disertai kompleks imun dalam sirkulasi. Perbedaan sindrom diduga disebabkan perbedaan besar dalam kompleks, kelas antibodi, tempat terjadinya endapan dan kondisi local seperti pembuluh darah dan inflamasi.

Imunologi Mata
Respon imun pada mata dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu respon imun humoral dan selular. Respon imun humoral terutama terjadi melalui IgE dan sel mast yang mengawali reaksi alergi. Kadar IgG tinggi dalam darah dapat berperan dalam penyakit autoimun yang mengenai mata. Sedangkan respon imun selular melibatkan sel T. respon imun yang efektif terhadap antigen benda asing membutuhkan sel efektor dalam suatu aturan lintasan melalui jaringan, meskipun beberapa faktor yang dapat larut (seperti sitokin) berperan penting terhadap aktivasi sel-sel imun, leukosit masih diperlukan sebagai tanda untuk lalu lintas efektif.
Sistem imun pada mata:
1.      Konjungtiva
-          Penuh dengan sel langerhans, sel dendritik, makrofag
-          Imunitas humoral melibatkan IgA
-          Imunitas selular didominasi CD4+ sel T
-          Mempunyai pembuluh limfatik yang menjadi lintasan sel-sel imun dan antigen menuju aliran kelenjar limf
-          Ditemukan sel mast
-          Dilibatkan primer dalam hipersensitivitas cepat dan alergi
-          Memiliki drainase limfatik
2.      Uvea
-          Terlibat primer dalam hipersensitivitas selular dan penyakit kompleks imun
3.      Kornea avaskular
-          Tidak terdapat sel mast
-          Disokong oleh sel langerhans
-          Berpartisipasi dalam reaksi imun melalui jalur humoral
4.      COA, uvea anterior, dan vitreus
-          Aquos humor : sitokin imunomodulator, neuropeptida dan inhibitor komplemen
-          Iris dan korpus siliaris mengandung banyak APC
5.      RPE, retina, dan koroid
-          RPE terinduksi untuk mengekspresikan MHC-II
-          RPE bisa berinteraksi dengan sel T
-          Densitas sel mast sedang pada koroid
-          Densitas tinggi dari sel T, sel B, makrofag, PMN bisa menginfiltrasi koroid, kariokapiler dan retina
-          Proses imun local tidak tampak terjadi
6.      Lapisan Air Mata
-          Lapisan mukus : glicocalys
-          Lapisan akuos : faktor-faktor terlarut seperti laktoferin, lisozim dan Beta lisin. Pada lapisan akuos, banyak IgA yang berfungsi mengikat mikroba, opsonisasi, aktivasi enzim dan toksin bakteri, efektor

Konjungtivitis Alergi
A.   Definisi
 Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh Universitas Sumatera Utara sistem imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).

B.   Etiologi dan Faktor Resiko
        Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan, 2010). Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuhtumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensakontak atau mata buatan dari plastik (Asokan, 2007).

C.   Gejala Klinis
 Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan subkategorinya. Pada konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan keluhan utama adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan sering ditemukan kemosis berat. Pasien dengan keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran mata yang berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak papila halus di konjungtiva tarsalis inferior. Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia merupakan keluhan yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik. Ditemukan jupa tepian palpebra yang eritematosa dan konjungtiva tampak putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan menurun, sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala yang mirip konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).

 D.  Diagnosis
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi. Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia (Weissman, 2010).

 E.  Komplikasi
 Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan infeksi sekunder (Jatla, 2009). F. Penatalaksanaan Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan, 2010).






Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.
Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin sulit untuk membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan maupun alergen. DKA adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering, menjengkelkan, dan menghabiskan biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis kontak akibat kerja (Occupational Contact Dermatitis) adalah iritan dan 20% alergi.

1.    Dermatitis Kontak iritan
 Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi yang cukup (Health and Safety Executive, 2004).
 golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja).
Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan atas dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis iritan kronik.
§   Dermatitis kontak iritan akut
Reaksi ini bisa beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga keadaan yang tidak lebih daripada sedikit dehidrasi (kering) dan kemerahan. Kekuatan reaksi tergantung dari kerentanan individunya dan pada konsentrasi serta ciri kimiawi kontaktan, adanya oklusi dan lamanya serta frekuensi kontak (Fregret, 1998). Satu kali kontak yang pendek dengan suatu bahan kimiawi kadang-kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi iritan.
§   Dermatitis kontak iritan kronis
DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang-ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai macam faktor.
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura. Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian (Djuanda, 2003).

2.    Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergi (National Occupational Health and Safety Commision, 2006).
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003).


 Penyebab Dermatitis Kontak
1.    Dermatitis Kontak iritan
        Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik.
Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita (Strait, 2001; Djuanda, 2003).
Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien.
Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah dari iritan menurunkan dan secara bertahap mencegah kecenderungan untuk menginduksi dermatitis.
Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan kelembaban tinggi, bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan kelembaban rendah). Efek dari iritan merupakan concentration-dependent, sehingga hanya mengenai tempat primer kontak (Safeguards, 2000).
Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh : ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain:  lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, gesekan dan trauma fisis, suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998).
Faktor lingkungan juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak dibawah umur 8 tahun lebih muda teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak alergi lebih tinggi pada wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik (Beltrani et al., 2006).
Sistem imun tubuh juga berpengaruh pada terjadinya dermatitis ini. Pada orang-orang yang immunocompromised, baik yang diakibatkan oleh penyakit yang sedang diderita, penggunaan obat-obatan, maupun karena kemoterapi, akan lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak (Hogan, 2009).
·      Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti (Streit, 2001).
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani et al., 2006; Djuanda, 2003).
DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan HLADR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani et al., 2006).
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2003).

2.    Dermatitis Kontak Alergi
       Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2003).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
·           Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen. Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi (Trihapsoro, 2003).
1.      Fase sensitisasi
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya (Djuanda, 2003).  Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten (alergen yang memilik berat molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh jika terikat dengan protein untuk membentuk antigen lengkap). Antigen ini kemudian berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan diproses oleh antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit, dan sel langerhans (Hogan, 2009; Crowe, 2009).
Selanjutnya antigen ini dipresentasikan oleh APC ke sel T. Setelah kontak dengan antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu (Djuanda, 2003).

2.      Fase elisitasi atau fase eferen
Terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.
Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan (Trihapsoro, 2003).



Pengobatan Dermatitis Kontak
1.    Dermatitis Kontak iritan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering (Djuanda, 2003).
Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan (Djuanda, 2003; Kampf, 2007).



2.    Dermatitis Kontak Alergi
        Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul (Brown University Health Services, 2003; Djuanda, 2003; Health and Safety Executive, 2009).
Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, bula atau vesikel, serta eksudatif. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal. Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal (Djuanda, 2003).



DAFTAR PUSTAKA

Kumar, Vinay. Cotran, Ramzi S. Robbins, Stanley S. 2007. Buku ajar patologi. 7th             ed. Jakarta : EGC
Tersinanda, Yuliharti dkk.Dermatitis Alergi.Universitas Udayana.
 [diakses 22 April 2015]
Amra, Aryani Atiyatul.2007.Ocular Immune Responses.Universitas
Sumatera Utara. [diakses 22 April 2015]








Tidak ada komentar:

Posting Komentar